Demografi Kepemimpinan dalam Perspektif Literat

Opini Bentang Sakati | Ruangatas.com

Dalam dinamika berumah tangga, bermasyarakat, bernegara, hingga berpolitik, dibutuhkan satu hal paling mendasar: kejelasan dalam terang. Ibarat kosmos, tak ada dua matahari yang menyinari langit yang sama. Satu saja cukup membakar, menerangi, dan memanaskan. Dalam ruang budaya dan teosofi, terang adalah simbol nilai. Dalam laku rumah tangga, dalam pergerakan politik dan kehidupan bernegara, terang adalah laku nurani. Dan konon, titik mula terang itu adalah pemimpin.

Bacaan Lainnya

Namun, kepemimpinan tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari rahim kultur masyarakatnya. Hiruk-pikuk dari level RT hingga istana presiden tak bisa dilepaskan dari atmosfer sosial tempat ia berakar. Sejarah telah mencatat, bahkan pada masa Kekhalifahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., gejolak itu tetap ada. Suatu ketika, seorang rakyat datang bertanya:

“Assalamu’alaikum, Ya Imam. Mohon izinkan hamba mengajukan pertanyaan yang mengganjal.”

“Wa’alaikumussalam,” jawab Sayyidina Ali ra. “Katakanlah, saudaraku.”

“Di masa Nabi Muhammad saw., umat begitu patuh dan taat. Tak ada keributan, tak ada perang saudara. Tapi kini, di bawah kepemimpinanmu, mengapa sesama muslim saling bertikai?”

Ali ra. tersenyum, menghela napas, lalu berkata: “Karena saat Nabi memimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertiku. Kini, saat aku memimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertimu.”

Pernyataan itu, jika dicermati, adalah cermin realitas sosial. Bahwa kualitas kepemimpinan sangat ditentukan oleh kualitas masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Artinya, perubahan tidak berawal dari atas, tapi dari dalam diri. Maka, instruksi dari elite penguasa takkan berarti jika masyarakatnya mandul secara nurani dan literasi. Namun, dalam bingkai ikhtiar, intervensi moral dan struktural tetap diperlukan demi keselarasan.

Masalahnya, kesadaran ini sering kali kabur di tengah riuhnya demokrasi elektoral. Pemimpin, yang sejatinya pelayan masyarakat, justru berdiri di menara gading, menjauh dari denyut kebutuhan rakyat. Undang-undang dilahirkan bukan sebagai refleksi kebutuhan sosial, tetapi sebagai alat legitimasi kekuasaan segelintir elit. Maka lahirlah apa yang disebut demokrasi prosedural tanpa substansi, di mana rakyat tak lebih dari penonton dalam pesta politik yang tak mengundang mereka sebagai tamu kehormatan.

Ini adalah paradoks dalam ruang publik kita: rakyat disebut sumber kekuasaan, tapi dalam praktiknya, mereka justru menjadi oposisi permanen terhadap pemerintahannya sendiri. Ironi ini tak akan selesai, kecuali ada kesadaran kolektif untuk membaca realitas secara literat.

Maka, tugas kita hari ini bukan sekadar memilih pemimpin, melainkan menciptakan masyarakat yang layak untuk dipimpin secara adil dan bijak. Kepemimpinan yang tercerahkan hanya mungkin Hadir dari masyarakat yang tercerahkan pula.

Pertanyaannya: Akankah sinergi antara pemimpin dan masyarakat terjadi di medan literasi? Atau justru kita terus terjebak dalam kabut narasi tanpa orientasi? Jawabannya, ada pada siapa kita hari ini: apakah seperti Sayyidina Ali, atau justru seperti sang penanya? [bs]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *