Penulis: Tintin Kartini, S.Pd (Guru SDN Argasari Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya)
Pembelajaran matematika sebagai sebuah ilmu pasti, bertujuan untuk membekali siswa dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan dalam memecahkan masalah. Kemampuan tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif.
Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar meliputi aspek-aspek sebagai berikut : a) Bilangan; b) Geometri dan Pengukuran; dan c) Pengolahan data. Dari ketiga aspek di atas, pecahan merupakan salah satu pokok bahasan dalam bilangan yang implementasinya sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, konsep pecahan harus ditanamkan kepada siswa dengan baik agar siswa mampu menyelesaikan masalah yang menyangkut pecahan dalam kehidupan. Banyaknya kejadian yang melibatkan pecahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka konsep pecahan dapat ditanamkan kepada siswa melalui pembelajaran.
Harapan tersebut tidak sepenuhnya tercapai, hal ini disebabkan oleh beberapa penyebab diantaranya guru merefleksi, bahwa mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan sejumlah konsep/informasi belaka sehingga kurang bermakna. Jika pembelajaran hanya dikomunikasikan oleh guru kepada siswa melalui satu arah seperti menuang air ke dalam gelas, siswa hanya menghapal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimilikinya. Padahal dari soal cerita itu dapat melatih kemampuan siswa dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan pecahan dalam kehidupan sehari-hari.
Melihat kondisi pembelajaran seperti yang telah diuraikan di atas, pemilihan model pembelajaran harus dilakukan oleh guru dengan cermat agar sesuai dengan materi yang akan disampaikan, sehingga siswa dapat memahami dengan jelas setiap materi yang disampaikan dan akhirnya akan mampu membuat proses belajar mengajar lebih optimal dan mencapai keberhasilan dalam pembelajaran.
Model pembelajaran yang digunakan juga sebaiknya sesuai dengan karakter siswa di kelas III, di mana penulis sebagai penulis bertugas. Model tersebut sederhana untuk dipahami, melibatkan aktivitas siswa secara aktif, dan bermakna. Model pembelajaran bisa diperoleh dari berbagai literatur atau referensi, atau bahkan inovasi dan modifikasi guru terhadap mode pembelajaran yang sudah ada.
Berkenaan dengan hal tersebut, penulis berusaha menerapkan model belajar “rekonstruksi” pada pembelajaran tentang ceramah, model belajar ini hampir sama dengan model belajar simulasi, dan bermain peran, tetapi pada model belajar rekonstruksi, guru memodifikasi soal cerita dengan memberikan jawaban yang salah dari soal cerita tersebut, misalnya, “ ibu membeli ½ kg gula, saat bertemu dengan bibi, ibu memberikan gula tersebut sebanyak ¼ kg. maka gula yang dibawa ibu ke rumah tinggal ¾ kg”. Ssiwa mengoreksi soal cerita tersebut dengan mempraktikkan soal cerita tersebut, sehingga mereka menemukan jawaban yang sebenarnya.
Penekanan mode belajar rekonstruksi, sebanarnya ada pada keterampilan mereka melakukan operasi hitung, Untuk membuktikan rekonstruksi tersebut, siswa tetap harus menghitung penjumlahan dan penguarangan pecahan tersebut, rekonstruksi, hanyalah cara guru memnuculkan sikap kritis mereka terhadap soal cerita yang diberikan. Kekritisan tersebut memnuculkan analisis-analisis mereka dalam menyelesaikan masalah. Selain itu model rekonstruksi sarat dengan partisipasi siswa dalam belajar, model rekosntruksi sesuai namanya, adalah aktivitas siswa mengkonstruksi sebuah masalah untuk dicari kebenaranya.
Model rekosntruksi ini, memberikan dampak positif terhadap pemahaman siswa, aktivitas dan partisipasi siswa dalam pembelajaran memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi mereka, setiap permasalahan atau soal yang mereka rekonstruksi sendiri memberikan memori tersendiri terhadap pemcacahannya sesuai yang mereka rekonstruksikan.***