Berjuang Melawan Lupa

Oleh : Yusran Nurlan (Penyair, Jurnalis dan Penulis Esey asal Tasikmalaya) 

Sejarah digunakan manusia untuk mempelajari kejadian, peristiwa, bahkan kebudayaan di masa lampau. Disadari atau tidak, peranan sejarah untuk manusia sangatlah besar. Dengan sejarah, kita bisa mengetahui dan menjadikan peristiwa di masa lalu sebagai pembelajaran.

Bacaan Lainnya

Menurut S.K. Kochhar dalam buku Teaching of History (2008), istilah history (sejarah) berasal dari bahasa Yunani, historia berarti informasi atau penelitian yang ditujukan untuk mencari kebenaran.Salah satu kegunaan sejarah ialah membuat seseorang lebih mengenal perkembangan bangsanya sendiri, sehingga dapat meningkatkan nasionalisme dan memperkokoh identitas bangsa.(Kompas.com)

Berangkat dari itu, menelusuri kembali jejak Hj. Umayah menjadi amat penting, untuk, antara lain menyegarkan kembali ingatan, meluruskan kembali yang tidak lurus, menghaluskan yang bopeng-bopeng, menggali kembali jika misalkan, kemudian masih ada remah-remah kecil yang mungkin bisa saja, masih tertimbun dibalik lipat ingatan silam.

Meluruskan jika ada yang terbengkokkan, atau dibengkokkan dan mungkin itu bisa terjadi, lantaran sengaja untuk kepentingan tertentu, atau bukan sengaja atau memiliki maksud tidak benar. Karena terdapat contoh kasus, beberapa peristiwa sejarah, lokal, nasional internasional untuk kepentingan tertentu, direkayasa.

Bahhwa Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada itu yang pernah jadi Perdana Menteri Kerajaan Majapahit pada tahun 1329-1364 itu ternyata juga diragukan keasliannya. Hasil berbrowsing ria membawa ke tulisan Mertamupu di kompasiana yang berjudul Klaim Palsu Atas Politik Gajah Mada. (Dari Kompasiana)

Sejarah harus tetap tegak di atas kebenaran, walau kadang para pembual berupaya merampas kebenaran itu, demi sebuah ambisi, atau untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan pihaknya. Untuk itu diperlukan perjuangan agak keras untuk melawan, agar kebenaran tetap bertahan dan hidup. Dan kelak menjadi bahan refleksi untuk inspirasi generasi yang akan datang.

Perjuangan telah dimulai sejak keganjilan terjadi. Aku terhenyak mendengar pemaparan tentang sejarah Hj. Umayah dipresentasikan dalam sebuah seminar, oleh seorang nara sumber, seorang pejabat pemerintah. Dalam pemaparannya, Hj. Umayah dilahirkan di kampung yang bukan sebenarnya. Itu tidak tepat. Hj. Umayah dilahirkan di Kampung Tanjung, dengan nama kecil Ratna Ningsih, menurut penjelasan Aried, yang didapat dari keterangan kakeknya, Otong Loemri, Putra ke dua Hj. Umayah.

Ada proses perdebatan dalam mencapai pelurusan dengan pejabat dimaksud. Diskusi tersebut terjadi di Pasar Bordir Tasikmalaya, di Ex Terminal Cilembang. Setelah dijelaskan lebar panjang, dan ia begitu percaya setelah aku mengatakan, aku cicit Hj. Umayah. Akhirnya pejabat itu menerima penjelasan baru yang benar. Demi kebenaran yang didapat, ia berkenan untuk datang berziarah ke pemakaman Hj. Umayah. Mungkin semacam ingin pembuktian atas kebenaran dari penjelasan itu.

Ketika kisah Umayah, tercium ada aroma “penyesatan” entah pretensi apa yang melatarinya. Tapi yang jelas ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan. Yang dirugikan adalah Hj. Umayah dan keturunannya itu sebagai pemilik syah dari kisah itu sendiri. Yang diuntungkan adalah siapa yang mendapat ” berkah” timbal balik atas penyimpangan itu.

Keterpanggilan dan naluri kepenulisan telah menggerakkanku untuk terus “noroweco” di berbagai pertemuan, baik sebagai audience maupun sebagai nara sumber. Dalam diskusi dan seminar di hotel-hotel di Kota Tasikmalaya. Atau mencatatkan opini di beberapa media cetak dan online. Tujuannya satu. Kebenaran harus tegak. Sangat disadari, bahwa ini tidak ringan. Aku sedang melawan opini yang telah mengental di masyarakat dan kepala orang-orang pemerintahan yang telah hidup bertahun-tahun. Selama ini, bordir sangat identik dengan H. Zarkasie, CV. Ciwulan. Dan itu telah melekat di benak para birokrat, baik produksi bordir maupun kepeloporannya. Hal ini pernah diutarakan oleh Kang Irpan, Jupel dari Dinas Parbud Kota Tasikmalaya.

Beberapa madia mainstream yang pernah memuat tulisan tentang Umayah; Surat Kabar Priangan, lembar budaya, Koran Radar Tasikmalaya, Majalah Gema Mitra. Tulisan tentang sejarah Hj. Umayah pernah pula dikirimkan ke Yayasan Bordir Jawa Barat, Ibu Hj. Netti Heryawan, saat Pak Heryawan masih Gubernur Jabar, melalui jasa Staf Ahli Bupati, H. Safari Agustin.

“Ini hanya folkklor!”ujar Kepala Dinas Kebudayaan Kota Tasikmalaya, H. Hadian. Disampaikan di Hotel Grand Metro, Kota Tasikalaya, pada sebuah Seminar Kebudayaan Nasional yang dihadiri oleh sekitar 500 orang se Priangan Timur. Hadir saat itu dari Kementrian Budaya, Olah Raga dan Pariwisata, dari Balai Arkeologi, juga anggota DPR RI, Drs.Ferdiansyah, S.E., M.M.dari Komisi X.

Perih juga, mendengar pernyataan H. Hadian. Tapi itu fakta yang ada di masyarakat. Ketika aku berharap pemerintah punya kepedulian tentang hal ini. Harapanku tidak muluk-muluk. Hanya pengakuan dari pemerintah atas kiprah Hj. Umayah, berupa apapun pengakuan itu, untuk formal sejarah itu sendiri. Bahkan secarik kertas pun bagiku, sudah cukup. Untuk menutup segala kesimpangsiuran selama ini.

Untuk permintaan yang kuajukan, Kang H. Ferdiansyah memberi arahan yang harus dilakukan untuk mendapatkannya. Antara lain, dibicarakan dan didiskusikan. Dan itu harus terus menerus. Ditulis secara permanen dalam sebuah buku. Bisa biorafi atau apapun, yang penting ada tulisan sejarah.

Narasi Hj.Umayah terus diasah dan diolah. Lewat berbagai seminar dan diskusi di hotel dan beberapa tempat yang menyelenggarakan diskusi dan seminar, yang difasilitasi Dinas Perdagangan (bordir/ ekonomi) atau event yang digagas dan difasilitasi oleh Dinas Parbud dan Pariwisata ( budaya dan seni). Baik Nasional maupun tingkat lokal.

Pada tahun 2017, aku dipercaya menjadi pembicara dalam sebuah Seminar Nasional yang dihelat oleh Kementrian Perdagangan Dan Industri, di Hotel Harmoni, jln. Tawang Kota Tasikmalaya. Mewakili pembicara dari Bordir. Demi pengakuan Hj. Umayah, maka tema yang kuangkat adalah menggali Spirit Umayah Di Abad Digital. Tanpa makalah, aku ngacapruk. Inti dari visi yang kupasang, bagai mana mengangkat Hj.Umayah ke permukaan agar sampai kepada orang tepat untuk diapresiasi kepeloporannya. Saat itu bersama H. Wawan Gobras perwakilan dari Kelom Geulis, Ir. Sabar Situmorang, pengusaha muda dari Bandung, pemilik puluhan destro di Bandung dan Jakarta, satu lagi pembicara dari Jakarta, seorang designer gaun pengantin internasional, yang kerap berpameran di Timur Tengah.

Sekali waktu ada undangan untuk mengikuti Musrenbang Tingkat Sektoral. Dengan tiket seniman, aku datang ke Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Sebagai peserta, sebagai seniman idealnya aku mengangkat persoalan kesenian dan segala problematiknya yang terjadi di Tasikmalaya. Aku lebih tertarik dengan persoalan Hj. Umayah dengan kiprah dan kepeloporannya. Sekali lagi aku tegaskan tentang pentingnya pengakuan pemerintah sebagai bukti legal atas sejarah bordir Hj. Umayah. Targetku bukan jawaban saat itu. Ini kulakukan sebagai sebuah peringatan untuk dicatat dan ditindak lanjuti kelak.

Suatu kali bertemu dengan Angleg Kota Tasikmalaya. Ia meminta gagasan untuk kemajuan wilayah binaannya. Aku selalu terobsesi dengan bordir agar terus menjadi lahan kehidupan kelak bagi anak-cucuku. Tapi gagasan itu mungkin terlalu mewah untuk seorang Angleg yang dibatasi anggaran. Gagasanku mungkin akan lebih logis “dikonsumsi” oleh Kepala Daerah.

Suatu kali aku menggeser gagasan itu, dari arah seni budaya. Aku tetap mengincar jalan mulus menuju legal sejarah Hj. Umayah. Targetnya buku. Masih ditimbang, antara menulis biografi perjalanan Hj. Umayah atau dengan sebuah buku yang formatnya lebih estetik. Demi daya jangkau pembaca. Jika bentuk biografi formal, maka masyarakat pembacanya terbatas. Aku memilih deskripsi yang lebih efektif tapi ruhnya tetap tercapai.

Pucuk dicinta ulam tiba. Seperti pepatah itu. Ketika persiapan acara Ngaruat, yang akan dihelat di sebuah tempat wisata, di Leuwisari, Leuwiliang. Tersirat gagasan lain yang relevan dengan obsesi selama ini. Mengutarakan gagasan ke orang banyak bukan hal mudah untuk mendapat persetujuan. Aku paham, orang lain punya gagasan bebeda. Tapi tekad kuat kerap kali melahirkan spirit yang berbeda pula.

Akhirnya gagasan itu diterima oleh orang yang memiliki kepedulian, Ridwan Nurfauzan, Angleg Kota Tasikmalaya, Komisi lV. Aku persiapkan sebuah Antologi Puisi Bersama dan mengundang para penyair se-Nusantara, dengan tema Kebaya Bordir Untuk Umayah. Alasan mengundang para penyair se Nusantara untuk ikut serta dalam antologi bersama tersebut, adalah untuk lebih menguatkan dan memperluas popularitas bordir Tasikmalaya beserta Hj. Umayah sebagai perintisnya.

Kenapa harus lewat puisi dengan antologi keroyokan, dan tidak ditulis dengan format biografi. Buku antologi puisi bersama lebih jelas jumlah pembacanya, sejumlah peserta yang karyanya menenuhi syarat untuk dimuat. Mereka para penulis yang karyanya dimuat, kelak menerima nomor bukti pemuatan karyanya. Maka dengan sendirinya informasi tentang kepeloporan Hj. Umayah lebih luas masyarakat pembacanya.

Tiga bulan dari awal penerimaan naskah hingga dead line, sebanyak 350 lebih naskah puisi hinggap di meja panitia, dari berbagai daerah se Nusantara. Mulai dari Padang hingga NTT. Kurator Acep Zam Zam Noor, Sarabunis Mubarok, menentukan sebanyak 115 penyair terpilih dan tampil di Antologi tersebut. Saya menuliskan kisah singkat perjalanan Hj. Umayah dalam menggeluti kerajinan dan usaha bordir. Untuk sekedar informasi agar itu dicatat dalam ingatan , bahwa perintis bordir Tasikmalaya yang mendunia itu adalah Hj. Umayah putri tunggal seorang lurah yang lahir dan wafat di Kampung Tanjung.

Antologi ini selain untuk kepentingan estetik juga sebagai informasi sejarah. Diharapkan menjadi bahan rujukan atau komparator yang bisa menghentikan berbagai manuver serta opini simpang siur selama ini. Di samping untuk meraih pengakuan legal dari pemerintah.

Tidak untuk berbangga diri, walau merasa puas dan mensyukuri, karena ujung perjuangan telah sampai pada puncak yang diimpikan. Adalah sebuah pengharagaan berupa piagam. Sebagai Pelopor Bordir Warisan Budaya Tak Benda.

Pada hari ini, Kamis 20 Oktober 2022, pada rentetan acara Ulang Tahun Kota Tasikmalaya yang ke-21, pukul 10.00 wib. Bertempat di Gedung Kesenian Kota Tasikmalaya. Penghargaan kepada Hj. Umayah diserahkan oleh Wali Kota Tasikmalaya, H. Mohammad Yusuf kepada wakil keturunan Hj. Umayah, H. Oded Abdul Hanan yang merupakan keturunan ke 3.(cicit).***

Tasikmalaya, 20 Oktober 2022

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *