Pertaruhan Politik Jujur

Menjelang pemilihan kepala daerah pilkada, orang bilang tahun politik, tahun intrik atau apapun itu namanya. Terkesan semua calon pimpinan, memjelma menjadi Malaikat, yang humanis, bijaksana dan masih banyak lagi sebutan-sebutan yang mengesankan berpihak kepada rakyat. Misalnya “haus bersikap jujur”. Betul bahwa kata jujur menjelang perhelatan serupa di atas menjadi salah satu bahasa yang efektif untuk bisa diterima oleh masyarakat. Tidak mengherankan pada saat sekarang ini (tahun politik) diksi yang menggabarkan kejujuran, bijaksana, adil, makmur, sejahtra dan masih banyak lagi kata kata mutiara yang menghipnotis, membius yang terkesan pro rakyat, bahkan di jadikan bargaining posision sebagai alat atau jembatan ting-teng atas nama “keberpihakan” al hasil kata jujur, adil, makmur bijaksana, sejahtera di atas (red), jadi kambing hitam oleh si lawan politik. Inilah sebenarnya bahaya latin yang nyata penghancuran terhadap nilai kejujuran, adil, makmur, bijaksana, sejahtera itu sendiri.

Satu sampai lima tahun ke belakang bencana besar ketidakpercayaan kepada pimpinan daerah, dari mulai Guberur, Bupati, dan Walikota hampir masuk bahkan sudah mencapai ke titik nadir dimana peristiwa demi peristiwa, tebongkarnya perjanjian dan kongsi serta pemupakatan jahat Korupsi, juga perihal pembagian jatah (upeti)  ke-pimpinan,  miris memang! Peristiwa ini kelihatannya relatif merata dan massif. Termasuk di repulik yang kita cintai ini, beberapa tahun ke belakang peristiwa itu terjadi yang membuat masyarakat Kota Tasikmalaya mengurut dada. Timbulnya opini masyasarkat terkait itu, malah kata jujur untuk lawan polilitik bisa bermakna “bodoh” atau lugu. Inilah salah satu senjata pembunuhan karakter persis ini terjadi pada kandidat-kandidat yang akan maju menjadi calon pemimpin, pembunuhan karakter ini terjadi. Padahal hakekatnya menjadi pemimpin yang paling utama kejujuran. Di sinilah letaknya soal!

Para petualang ini yang merusak tatanan sendi-sendi narasi yang adiluhung tadi, tentu tidak bisa disalahkan keberadaannya. Mereka tak lain merupakan bagian dari system yang di bangun oleh ketidakjujuran yang menetapkan pola rekruitmen “konco-konco” artinya berdasarkan like this like. Maka wajar dalam kurun waktu empat setengah tahun terakhir ini tak ada lagi tempat bagi orang yang jujur.

Akibat kekeliruan system birokrat yang atas dasar menempatkan orang demi kepentingan masyarakatnya sebagai pusat kebenaran, akan tergerus kepentingan pribadi dan golongan, maka muncul patojaiah, yang akhirnya kehancuran bagi masyarakatnya, feodalisme kultur, bahkan kegilaan baru yaitu broker atau calo politik. Tulisan ini tak bermaksud menyudutkan sama sekali, tidak! Sebab penulis sendiri termasuk yang tak henti-henti mendorong siapapun agar berpolitik. Dengan tulisan ini, hendak mengingatkan bahwa khusus untuk bidang politik, perlu menempatkan “jalan konsekwen” yang justru seharusnya menjadi rujukan utama dunia politik dan masyarakatnya. Jika posisi kebijakannya terbalik, bukan tidak mungkin perpolitikan di republik ini akan konyol bahkan sangat mungkin merujuk menuju kepada kehancuran yang permanen!

 

Penulis,

Tatang Pahat, Tinggal di Tasikmalaya

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *