Oleh: Ai Yuhani, S.Pd (Guru SDN Cicariu Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti nakal adalah: suka berbuat kurang baik ( tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya, terutama anak-anak). Keberadaan anak yang dilabeli “anak nakal” di setiap sekolah pasti ada, dan membutuhkan penanganan yang serius dan membutuhkan pemikiran matang supaya kenakalannya berkurang bahkan kalau bisa berhenti sama sekali.
Begitu pun di sekolah tempat penulis mengajar, “anak nakal” tersebut ada dan membutuhkan penanganan yang tepat supaya anak-anak tersebut menyadari kenakalannya dan berubah menjadi lebih baik.
Ketika di kelas IV tahun pelajaran 2021/2022, anak yang berinisial D, H, L, dan F merupakan anak yang perbuatannya digolongkan nakal. Ketika di kelas, mereka selalu berbuat gaduh, berani melawan kepada guru, berani berkata kasar, berani membuka HP guru dan memberikan komentar terhadap foto yang dibukanya dengan perkataan yang tidak pantas. Bahkan anak yang berinisial D berani meminum dan memakan makanan kepunyaan guru kelas yang disimpan di atas meja. Kenakalan mereka berlangsung sampai akhir tahun pelajaran. Kepala Sekolah pun ikut turun tangan untuk mengatasinya.
Pada pergantian tahun ajaran 2022/2023, penulis ditugasi Kepala Sekolah untuk menjadi guru kelas dari anak-anak yang di dalamnya ada keempat anak tadi.
Biasanya setiap awal tahun pelajaran, pembentukan pengurus kelas selalu dilakukan dengan jalan pemilihan. Namun, untuk tahun ini, penulis tidak melakukan pemilihan pengurus kelas, karena sudah tahu latar belakang dari keberadaan kelas yang penulis pegang. Penulis mendelegasikan keempat anak tadi untuk menjadi pengurus kelas. Anak yang berinisial D yang terkenal paling nakal, didelegasikan menjadi ketua kelas. Anak yang lainnya membantu tugas D, anak berinisial H bertugas sebagai seksi keamanan, F sebagai seksi kebersihan, dan L sebagai seksi humas. Keempat anak yang berlabel nakal tersebut menerima delegasi yang diberikan penulis, dan D oleh penulis ditugaskan untuk menyampaikan visi misinya dalam memimpin kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
Setelah kegiatan pembelajaran selesai, penulis mengajak keempat anak tadi untuk berbicara. Penulis menanyakan apa yang telah mereka lakukan ketika di kelas IV kepada guru mereka, dan mengapa melakukan kenakalan-kenakalan yang telah diuraikan di atas. Dari jawaban-jawaban yang mereka lontarkan, penulis menarik kesimpulan, kenakalan tersebut terjadi karena kurangnya wibawa dan ketegasan guru. Mereka jadi menyalahkan guru. Penulis memaklumi, guru di kelas sebelumnya belum berani tegas dan menggunakan alat pendidikan (berupa hukuman) kepada keempat anak tadi, karena merupakan guru baru yang mengabdikan diri .
Berdasarkan jawaban-jawaban tadi, penulis mempunyai data apa yang seharusnya penulis lakukan ke depannya untuk mengubah perilaku mereka menjadi lebih baik. Kepada keempat anak tadi penulis melontarkan pertanyaan tentang perasaan jika mereka yang jadi guru dan punya anak nakal di kelas seperti mereka. Penulis tercengang mendengar jawaban mereka. Mereka tahu perasaan tidak enak dan tidak dihormati. Penulis pun menanyakan apa yang harus penulis lakukan di kelas untuk mengatasi keributan di kelas terutama untuk mengatasi anak-anak nakal seperti mereka, apakah guru harus melakukan pembiaran atau harus tegas terhadap segala perilaku yang menyimpang. Jawaban mereka serempak menginginkan guru yang tegas dan harus menegur setiap kesalahan yang mereka perbuat.
Keesokan harinya, sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, penulis mengajak semua peserta didik untuk membuat kesepakatan kelas, dan menanyakan apakah ada yang keberatan jika kelas dipimpin oleh keempat temannya yang berinisial D, H, L, dan F. Semua warga kelas sepakat menerima dipimpin oleh keempat temannya tadi. Penulis meyakinkan kepada semua peserta didik untuk memberi kesempatan kepada keempat temannya , dan mengatakan bahwa dengan kepemimpinan mereka, kelas VC akan lebih baik. Dalam hal ini penulis sedang menanamkan kepercayaan terhadap keempat anak tadi, dan penulis pun yakin mereka dapat berubah menjadi lebih baik.
Menurut Caine dan Caine (1977: 124), keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar dan berprestasi merupakan suatu hal yang penting diperhatikan. Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar terhadap iklim belajar dan pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap peserta didik akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses belajarnya.
Berdasarkan uraian dari Caine tersebut, penulis memulai kegiatan pembelajaran bersama anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dengan memperhatikan emosi peserta didik terutama yang empat peserta didik tadi. Penulis harus mampu membangkitkan sisi baik dari peserta didik dan mengikis sisi negatifnya secara perlahan-lahan.
Sebelum pembelajaran dimulai, penulis membacakan do’a yang harus diikuti semua peserta didik dan do’a tersebut tiap hari dibacakan secara berulang-ulang. Untuk hari berikutnya, penulis mendelegasikan D untuk memimpin membaca do’a harian tersebut.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengubah anak yang punya label “anak nakal” menjadi anak yang lebih baik, namun dengan keyakinan yang kuat dan usaha yang terus-menerus, anak nakal tersebut akan berubah jadi lebih baik. Penulis harus mengangkat sisi positif mereka, maka penulis menggunakan panggilan yang bernada positif seperti “kasep, soleh, pinter,dan sebagainya setiap memanggil mereka. Penulis pun selalu memberikan reward terhadap perilaku baik mereka, dan ketika mereka masih berlaku negatif, penulis menanyakan apa yang harus mereka lakukan untuk menghentikan perilakunya. Kuncinya penulis harus membangun ikatan emosional dengan mereka.
Penulis membangun ikatan emosioanal dengan cara membangun rasa simpati dan saling pengertian. Penulis yakin dengan hubungan seperti ini akan membangun jembatan menuju kehidupan bergairah dan membuka jalan memasuki dunia mereka, dan berbicara dengan bahasa hati mereka. Dengan membangun ikatan emosional, memudahkan dalam melibatkan peserta didik, memudahkan pengelolaan kelas dan meningkatkan kegembiraan.
Membangun ikatan emosional dengan peserta didik, membutuhkan niat, kasih sayang, dan resiko dari pihak guru, juga diperlukan keikhlasan dalam menjalaninya. Setelah menjalin rasa saling simpati dan saling pengertian, penulis dapat menuntut tanggung jawab atas perkataan dan perbuatan mereka. Begitu pun dengan mereka, dapat menuntut tanggung jawab dari penulis sebagai gurunya.
Penulis pun sering bertanya kepada peserta didik yang lainnya tentang perilaku keempat anak yang tadi apakah masih seperti di kelas IV atau sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini dilakukan untuk mendaptkan informasi yang berimbang.
Penulis pun mengadakan koordinasi dengan para orang tua, membicarakan masalah yang terjadi ketika di kelas sebelumnya, dan meminta dukungan supaya di rumah lebih memperhatikan mereka, mengontrol teman bergaulnya dan selalu berkoordinasi dengan penulis selaku guru kelas.
Perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit, perilaku keempat peserta didik tersebut berubah menjadi lebih baik. Penulis sengaja menyimpan makanan dan minuman di meja, dan menyimpan handphone di atas meja, alhamdulillah perilaku yang terjadi di kelas IV, tidak terjadi lagi di kelas V. Dengan pendelegasian,dan membangun ikatan emosional dapat mengubah perilaku tidak baik menjadi perilaku baik. ***