Penulis: Tintin Kartini, S.Pd (Guru SDN Argasari Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya)
Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat penting dalam hidup kita. Kemajuan suatu negara secara langsung tergantung pada tingkat melek huruf di negara tersebut.
Literasi memang tidak bisa dilepaskan dari bahasa. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa, yaitu membaca dan menulis. Jadi, makna dasar literasi sebagai kemampuan baca tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas. Cara yang digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui pendidikan.
Budaya literasi tentunya sangat penting ditingkatkan di sekolah. Kemampuan dasar literasi yang berupa kemampuan membaca menulis harus menjadi prioritas utama dalam dunia pendidikan. Banyak manfaat yang didapatkan dari hasil membaca. Dengan membaca, kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan, misalnya membaca koran atau majalah. Dengan membaca kita juga bisa mendapatkan hiburan seperti membaca cerpen, novel, dll. Dengan membaca, kita mampu memenuhi tuntutan intelektual, meningkatkan minat terhadap suatu bidang, dan mampu meningkatkan konsentrasi.
Menurut Lerner (1988:349), kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas berikutnya. National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Definisi ini memaknai literasi dari perspektif yang lebih kontekstual. Dari definisi ini, terkandung makna bahwa definisi literasi tergantung pada keterampilan yang dibutuhkan dalam lingkungan tertentu.
Literasi juga diidentikan dengan minat baca, kebrehasilan literasi seseorang tergantung pada kegemaran dia membaca. Untuk itu sekolah mengupayakan dengan beberapa program yaitu Gerakn Literasi sekolah, di mana diharapkan kegemaran membaca menjadi budaya sekolah.
Tetapi, menggemakan literasi bukanlah hal yang mudah, bagi banyak orang membaca merupakan pekerjaan yang membosankan, apalagi bacaannya tidak menarik, hal ini juga yang menyebabkan anak-anak kita malas membaca, sehingga pengetahuan mereka pun terbatas.
Supaya literasi tidak sekedar gaung, guru melakukan sebuah terobosan dengan mengefektifkan pojok kelas sebagai tempat membaca, terobosan yang guru lakukan menyasar pada kemauan mereka membaca, guru meyakinin dengan bacaan yang menarik, maka lambat laun akan menarik anak-anak mau membaca.
Untuk mengimplentasikannya, guru membuat sebuah program di kelas, yaitu “Komik Bekas di Pojok Kelas”, sesuai namanya, guru mendekorasi pojok kelas semenarik dan senyaman munkin untuik mebaca, alasnya dieri karpet, rak buku sederhana, dan yang istimewa pada rak buku hanya berisi komik-komik anak yang penuh gambar. Komik bekas diperoleh dari koleksi guru, dan anak-anak yang menyumbang. Komik bekas juga guru peroleh dengan cara membeli di emperan-emperan toko yang menjual buku sehingga harganya murah, tetapi barangnya masih bagus.
Pjok kelas ini, digunakan oleh anak-anak untuk membaca, mereka biasanya membaa pada saat isirahat, bahkan pojok kelas ini digunakan oleh guru sebagai reward kepada anak yang selesai menegrjakan tugas, sambil menunggu teman lainnya selesai membaca buku, anak tersebut dipersilakan untuk membaca di pojok kelas.
Tampilan pojok kelas tempat membaca yang menarik, serta komik-komik bekas dengan cerita-cerita yang menarik, memberikan respon yang menggembirakan dari siswa. Mereka terlihat mulai senang membaca, apalagi diantara mereka saling memberi referensi komik yang telah mereka baca, tidak jarang, cerita yang mereka baca menjadi topik perecakapan mereka di luar kelas dengan kelas lainnya.
Upaya sederhana guru ini cukup membuahkan hasil, koleksi komik bekas pun sedikit demi sedikit digantikan oleh buku cerita lainnya, tidak hanya sekedar komik, tetapi berupa buku cerita biasa, hal ini merupakan salah satu stratergi guru, yaitu mengalihkan rasa tertarik gambar menjadi rasa tertarik pada cerita, artinya tidak masalah sebuah buku tidak banyak gambarnya, tetapi cerita nya menarik. ***