Oleh: Yudi Damanhuri
Kepala Perpustakaan SMA Pesantren Unggul Al Bayan Anyer dan Dewan Redaksi Buletin Sastra Tanpa Batas
Sebagai masyarakat yang konsumtif, manusia kian mudah mendapatkan hal-hal yang instan dengan beragam cara dan tak terpikirkan dampak dari hal tersebut. Pendadaran kabar hoaks yang anonim dari antah berantah yang bergelimpangan tanpa tedeng aling-aling di berbagai media, terutama digital, sekelebat lewat begitu cepat masuk dalam gawai kita. Hal itu bisa menyebabkan kemerosotan akhlak para kaum muda milenial dewasa ini. Hoaks-hoaks yang bermunculan kian masif menjejali pikiran-pikiran kaum muda milenial, yang kebanyakan, belum memiliki pandangan dan penyaringan yang ajeg terhadap bacaan yang dikonsumsi. Hoaks atau kabar bohong telah menjadi virus wabah yang menakutkan bagi masyarakat dengan kesehariannya yang bergawai ria, selain pandemi korona.
Sebagai pelaku penyerap informasi yang rutin, baik di media cetak maupun digital, kita harus bisa memosisikan-menyaring diri agar tak terjerumus arus yang tak jelas juntrungnya. Dengan akses yang mudah didapat, hanya bermodal kuota, bila mengakses informasi hanya pada gawai, kita sebagai masyarakat konsumtif terkadang rela atau menelan begitu saja, untuk tak menuduh menceburkan diri, terhadap kabar-kabar yang didadarkan salah satu, atau ratusan media—sekedar contoh—yang lebih condong dan jelas kentara arah dan tujuan politiknya.
Dalam hal ini saya akan menyoroti segregasi kawan dan lawan pada pemilihan umum hingga berbukit kepada kubu yang berseberangan antara oposisi dan petahana yang sedang marak dan menjadi puncak perbincangan di berbagai kalangan masyarakat kita. Alih-alih berbagi tulisan yang informatif, masyarakat kita cenderung mempertegas bahasa dengan kejamakan “melawan kubu lain” seakan lupa bahwa kita sebagai bangsa. Tingginya animo masyarakat dalam memperbincangkan kuasa pada petahana saban hari kian gaduh dan mudah terprovokasi untuk berbicara dalam konteks kawan dan lawan.
Ketika kita memosisikan diri sebagai suatu kubu dan tak memihak kubu yang lain, akan dengan mudah dihakimi sebagai lawan dari kubu yang lain. Ketika kita mengambil sikap dan mengkritisi terhadap kubu yang lain, akan serta merta dipetakan sebagai seorang simpatisan, dan seterusnya dan sebagainya.
Fanatisme kerumunan-kerumunan politis menjadi sebuah kelumrahan dan hanya akan menjadi penyakit turunan bila tak segera diredam. Masyarakat akan lebih mudah menjadi pencemooh, saling menyalahi, pelanggaran aturan, dan terpuruknya rasa saling menghormati satu sama lain. Di sanalah pentingnya peran kaum muda milenial untuk menengahi dan mengabar-suarakan bagaimana kesadaran berliterasi pada, meminjam judul puisi Afrizal Malna, Abad yang Berlari ini.
Jangan sampai kita membangunkan Paul Joseph Goebbels, sang penggerak propaganda yang berhasil menjadikan sosok Adolf Hitler dipuja oleh para pendukungnya. Kehebatan Goebbels adalah mendesain fanatisme buta yang mengabdi pada kekuasaan. Kebohongan olehnya dirancang sedemikian rupa, terstruktur, dan sistematis. Baginya, semua yang berasal dari pihak lain, seberapa pun benarnya kebenaran tersebut, tetap saja bukanlah kebenaran. Itulah caranya untuk merebut ruang publik demi menancapkan kekuasaanya.
Gandrungnya grup-grup di berbagai media sosial menjadi sekat antara satu kelompok dengan kelompok lain. Amat jarang sekali, suatu kelompok menerima kelompok lain dengan kepala dingin yang pada akhirnya hanya berujung pada pengakuan pembenaran suatu kelompok yang ingin diakui kelompok lain dan hanya mendapatkan penolakan. Maka marilah sama-sama kita menelaah segala sumber yang diserap oleh kepala kita sebelum syahwat ingin lekas menyebarkan infomasi mengalahkan pikiran kita. Diskusikan informasi dengan bijak agar rasa informatifnya diserap dengan layak, tak sekedar copas sana-sini. Karena pentingnya diskusi, walau hanya via maya yang terbatas, menjadi penunjang ajang keberlangsungan silaturahmi.
Menelaah informasi amat penting untuk mengetahui seperti apa isu dan isi yang digiring oleh salah satu media ketika mengabarkan berita. Mulailah bercermin diri atau menahan nafsu dari kecepatan menyebarkan sekelumit tulisan-tulisan di media sosial yang belum kita ketahui siapa penulisnya, gagasan sang penulis, tujuan penulis, dan segala macam tindak-tanduk yang belum tentu baik bagi kita pula buruk bagi orang lain.
Sebagai contoh, saya tergabung dalam salah satu grup WhatsApp yang digandrungi oleh beragam para pendidik di Banten. Di sana hampir setiap hari bertebaran beragam tulisan asal copas yang, sebagaimana saya singgung tadi, belum tentu benar adanya. Isi dan isu yang tak berkesinambungan. Bahkan yang lebih parah, isu yang muncul ke permukaan ternyata hanya isu klise yang bertebaran pada kontestasi politik tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut merupakan penyakit menahun yang harus segera diobati agar tak menjadi kronis dan menular pada peserta didik. Lebih jauh di belantara maya lain, ada pula grup pendidik di Facebook. Mereka saling beradu argumen dengan kemutlakan-kebenaran pendapat masing-masing junjungannya yang berujung pada putusnya tali silaturahmi.
Di sisi lain, seorang pendidik yang menjadi patron pada lini instansi pendidikan amat penting untuk menggadang-gadangkan kelayakan informasi bagi peserta didiknya agar tak sembarang asal telan asal serap. Hal tersebut dapat diintegrasikan pada proses Kegiatan Belajar Mengajar di kelas. Di sanalah peran seorang pendidik amat diagungkan sebagaimana para orang tua murid yang mengklaim, bahwa guru adalah orang yang serba tahu. Tentunya ini juga menjadi kerja bersama bagi orang tua di rumah, sebagai patron utama dalam sebuah keluarga. Agar bersinergi antara kedua lini, baiknya seorang pendidik dan orang tua memperekat silaturahmi. Karena sebagaimana kita tahu, buruknya dampak dari keserbacepatan informasi tanpa penyaringan, yang belum tentu benar adanya, seperti menabur biji di atas batu.***
Arikel ini sudah terbit di gemamitra.com
Sumber: https://www.gemamitra.com/pentingnya-literasi-informasi-bagi-generasi-milenial/