Tasikmalaya – Ruangatas.com | Pertemuan malam kemarin membuka khazanah baru bagi saya tentang gerakan literasi. Ternyata, banyak pembaca yang selama ini menyembunyikan identitasnya di tengah masyarakat. Mereka bersembunyi di ruang-ruang sunyi, menimbun pertanyaan dan gagasan karena minimnya ruang publik yang mampu menampung ide-ide mereka.
Berawal dari Deni, seorang apoteker, yang memulai kisahnya. Ketertarikannya pada buku yang dibawakan oleh kekasihnya—sebuah karya yang membahas manusia dari sudut pandang psikologi—menumbuhkan pertanyaan tentang dirinya sendiri. Dari sana, ia mulai menyelami buku-buku lebih dalam. Melalui kacamatanya, dunia ternyata tidak sesempit yang selama ini ia bayangkan.
Dari arah lain, Farid, seorang marketer, menambahkan bahwa sebuah buku tentang pemasaran mengubah sudut pandangnya secara mendasar. Ia menyadari bahwa penjualan bukanlah tentang pemaksaan, melainkan tentang penciptaan nilai.
Pendapat-pendapat inilah yang menurut saya sangat berharga—buah dari makhluk unik yang disebut pembaca.
Kemudian datang Dwi, seorang penulis, yang menuturkan bahwa merawat budaya membaca bukan perkara mudah. Dibutuhkan dedikasi yang kuat serta ruang-ruang yang lebih terbuka dan suportif.
Pernyataan itu diamini oleh Ratna, seorang perupa; Irlan, musisi muda; Ilham, pemilik tempat kami berkumpul; bahkan Kang Deri, seorang pengembara hukum yang memiliki pandangan mendalam tentang keadilan.
Diskusi pun memantik Raka, mahasiswa ilmu politik, yang memperluas pembicaraan ke ranah nilai-nilai terdalam umat manusia.
Hari itu, Kamis (24/7/2025) malam di Caiden — Jl. Mohamad Toha, membawa saya pada banyak kejutan mengenai dunia para pembaca. Dan dari pertemuan itu, saya menarik satu kesimpulan: merekalah masa depan yang Indonesia perlukan—manusia yang berani membuka diri pada dunia dan melampaui dinding-dinding sosial yang diciptakan masyarakat. (Naufal)***





