Penulis : N Ooh, S. Pd. (Guru SDN 2 Purbaratu Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya)
Ki Hajar Dewantara, ia mengemukakan bahwa pengertian pendidikan ialah tuntunan tumbuh dan berkembangnya anak. Artinya, pendidikan merupakan upaya untuk menuntun kekuatan kodrat pada diri setiap anak agar mereka mampu tumbuh dan berkembang sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat yang bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan dalam hidup mereka.
Pendidikan di sekolah sejatinya merupakan upaya guru membantu peserta didik agar dapat bertumbuh kembang, mengoptimalkan potensi dirinya sehingga dapat menjadi bekal bagi kehidupannya. Pendidikan di sekolah diimplementasikan melalui interaksi dalam pembelajaran. Pembelajaran dikemas sedemikian rupa, dengan memebrikan pengetahuan-pengetahuan secara terporgram sesuai dengan perekebangan usiannya.
Siswa di sekolah dasar merupakan anak yang berada pada tahap perkembangan. Dalam interaskinya dengan orang lain maupun teman seringkali muncul gesekan-gesekan atau pertentangan yang menimbulkan masalah dan mengganggu jalannya pembelajaran. Masalah pembelajaran juga dapat dipicu oleh lemahnya karakter siswa, akibat adanya pengaruh lingkungan sekitar mereka.
Masalah di sekolah bisa bermacam-macam, dari masalah kecil sampai masalah yang besar, msalah kecil adalah masalah-masalah malas belajar, bolos sekolah, mengganggu teman dan sebagainya, masalah besar misalnya pemalakan, perundungan bahkan tidak jarang anak terlibat masalah kriminal.
Dalam menyelesaikan masalah, biasanya diterapkan hukuman yang diharapkan memberi efek jera pada siswa. Hukuman adalah tindakan pendidikan yang sengaja dan secara sadar diberikan kepada anak didik yang melakukan suatu kesalahan, agar anak didik tersebut menyadari kesalahannya dan berjanji dalam hatinya untuk tidak mengulanginya.
Tetapi perkebangan zaman, hukuman untuk meyelesaikan masalah siswa di sekolah tidaklah sesederhan pada zaman dulu. Saat ini guru sangat hati-hati bahkan terkesan “takut” dalam memberi hukuman, hal ini karena dicontohkan banyaknya kasus memberi hukuman pada anak, malah berakibat tersangkut masalah hukum bagi guru. Situasi tersebut terjadi karena orang tua yang tidak terima anaknya dihukum oleh guru, sehingga dengan dalih melanggar pasal perlindungan anak, guru dilaporkan kepada pihak berwajib.
Kondisi tersebut, memunculkan kebingunan bagi guru, ibarat memakan buah simalakama, anak dihukum kemungkinan berdampak buruk bagi dirinya, anak tidak dihukum anak tidak jera dan sangat mungkin mengulangi perbuatannya.
Untuk mengatasi situasi terjepit tersebut, penulis merasa bahwa guru tetap harus memberi hukuman kepada siswa yang berbuat salah, dan guru menerapkan sebuah teori dalam memberi hukuman yaitu teori “poci panas”, hukuman harus diberikan saat anak melakukan kesalahan supaya anak sadar bahwa perbuatannya salah dan menjadi jera karena dihukum.
Terus hukuman bagaimana yang tepat diterapkan pada anak, mengingat kondisi-kondisi seperti diuraikan sebelumnya ? Penulis sebagai guru mencoba menerapkan hukuman dengan mengajak “diskusi” dan membuat peta masalah bersama anak tersebut. Tidak ada cacian, pandangan tajam, apalagi hukuman fisik. Guru justru mengajak siswa melakukan investigasi masalah yang menyebabkan anak tersebut melakukan kesalahan. Peta masalah dibuat secara sederhana untuk meruntut dari mulai sebab sampai akibat yang akan diterima siswa karena melakukan kesalahan tersebut. Guru menjelaskan akibat-akibat buruk yang akan diterima siswa akibat perbuatannya, misalnya apabila dia memukul temannya, banyak akibat yang dapat dia terima yaitu, ditegur oleh guru, dicap sebagai siswa yang bermasalah oleh guru, menjadi catatn buruk bagi guru lainnya, teman-temannya mungkin enggan bergaul dengan dia, sehingga dia akan kesulitan apabila membutuhkan bantuan dari teman, apabila pukulannya menyebabkan luka, maka anak yang dia pukul harus mendapat perawatan, bisa saja dia menanggung biaya perawatan, orang tuanya marah dan bisa juga sampai melaporkan ke polisi.
Memberi hukuman dengan mengajak diskusi dan membuat peta masalah, sekilas tampak bertele-tele, menghabiskan waktu dan kurang tegas. Tetapi menurut penulis, bisa dijadikan alternatif dalam memberi hukuman. Siswa akan diberi pengertian bahwa yang dia lakukan salah, dan berakibat buruk terutama bagi dirinya sendiri.
Penulis percaya setiap orang memiliki sisi baik yang bisa disentuh untuk menyadarkan dirinya. Jadi efek jera yang muncul bukan karena kerasnya teguran atau hukuman, tetapi karena keadaran yang muncul dari dirinya, kesadaran dampak buruk yang akan dia terima akibat perbuatannya, dan kerugian yang akan diterima pada kehidupannya.***