Oleh Kang Warsa (Guru dan Pengamat Budaya)
Devosi keagamaan merupakan cara orang-orang beragama dalam mengekspresikan kecintaan mereka terhadap agama yang dianut. Kendati demikian, kecintaan tersebut tidak seharusnya melahirkan sikap benci kepada apa yang ada di luar keyakinan yang dianut sehingga melahirkan sikap ekstrim dan deviasi dari ajaran agama yang mengedepankan welas asih.
Kecintaan kepada agama dapat diwujudkan melalui hal-hal yang memang telah diajarkan oleh agama dan menjadi domain penting dari agama. Misalnya, bagi seorang muslim, mengejawantahkan kecintaan kepada agama sebenarnya tidak terlalu sulit jika telah memahami bahwa keberagamaan kita tidak boleh berseberangan dengan anjuran-anjuran bersikap dalam beragama. Hanya dengan menghindari sikap riya atau suka pamer, israf atau berlebihan, dan takabur atau angkuh seorang muslim telah dapat mewujudkan kecintaan terhadap agama.
Deviasi atau penyimpangan kecintaan terhadap agama terjadi karena kita terlalu sering menampilkan agama tidak sesuai dengan format yang telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul. Wajah pemeluk agama yang seharusnya menampilkan keramahan menjadi kemarahan disebabkan oleh sikap berlebihan dalam beragama dan telah menempatkan agama bukan sebagai sebuah jalan melainkan tujuan. Agama, bagi umat manusia harus dipahami sebagai sebuah jalan atau proses untuk mencapai tujuan: keridhoan Tuhan.
Wajah agama yang ditampilkan dengan kemarahan biasa terjadi di wilayah urban perkotaan disebabkan oleh kompleksitas dan keragaman dalam menampilkan ajaran agama. Hal ini sudah berlangsung sejak sistem keyakinan lahir di wilayah urban, sejak zaman dahulu hingga sekarang. Ikatan antara sistem religi dengan pertumbuhan wilayah perkotaan sering sejalan bersama lahirnya pandangan beragam terhadap realisasi ajaran agama.
Dalam hal ini, pandangan yang menyebutkan agama sebagai biang kekisruhan sama sekali tidak dibenarkan karena faktanya, kekisruhan seperti aksi terorisme tidak pernah dilahirkan dari ajaran agama melainkan dari penyimpangan penafsiran terhadap ajaran agama oleh penganutnya.
Deviasi atau penyimpangan kecintaan terhadap agama di zaman kuno terjadi di kota-kota berperadaban dari Mesopotamia hingga Eropa Barat. Penyimpangan ini dipengaruhi oleh sistem lain dalam kehidupan salah satunya politik. Kekuasaan sebagai domain penting dari politik mengharuskan para pemegang kendali politik menjadikan agama sebagai alat dan topeng daripada sebagai benteng rohani. Ramses II menjadikan sistem religi untuk melumpuhkan suku Yahudi.
Nebukadnezar pun demikian, dengan berlandaskan sistem religi yang mereka anut dan untuk mengamankan posisi mereka, keyakinan telah dijadikan alat untuk menguliti para pemeluk keyakinan yang berbeda dengan mereka. Di era Babilonia, seorang penganut keyakinan yang tidak sesuai dengan keyakinan resmi kerajaan akan mendapatkan perlakuan mengerikan, disalib, digantung, dan dipermalukan di khalayak ramai.
Kelompok yang berseberangan keyakinan dengan mayoritas akan dikejar-kejar karena dipandang sebagai penganut bidat sesat. Raja Ahab di Yudea mengejar Elia hanya karena nabi yang dikenal sebagai Ilyas dalam tradisi Islam ini memiliki pandangan berseberangan dengan Izebel seorang pemuja Baal. Penyimpangan sistem keyakinan yang dianut tidak hanya melukai para penganut keyakinan yang berbeda juga telah memisahkan seorang Elia atau Ilyas dengan tanah kelahirannya.
Di awal kelahirannya, penganut Kristen diperlakukan secara keji oleh Kekaisaran Romawi dan dijadikan bulan-bulanan oleh para penguasa yang masih menganut sistem keyakinan paganisme. Penganut Kristen dipandang sebagai para penganut bidat sebagai pembawa malapetaka yang harus dimusnahkan. Pada perkembangan berikutnya, ketika Konstantin melakukan konversi keyakinan dari paganisme ke Kristen, di dalam tubuh kekristenan pun muncul dua kelompok besar yang saling berseberangan, terutama dalam hal teologi; penganut trinitas dan unitarianisme.
Kekuasaan kembali memerankan hal penting dalam membantu perkembangan sistem keyakinan yang dinyatakan sebagai agama resmi kerajaan. Imbasnya, pertalian antara kekuasaan yang menjadikan agama sebagai alat telah melahirkan malapetaka baru, para penganut Unitarianisme dikejar-kejar dan dibantai sebelum mereka menghadiri sebuah konsili pada abad ke-3 untuk mengukurkan teologi terbaru dan terpantenkan.
Bagaimanapun, lingkungan urban perkotaan kuno memiliki pengaruh kuat terhadap manifestasi agama mayoritas. Mekah pada zamannya merupakan kota metropolis kuno tempat pertemuan peradaban dan kebudayaan Hijaz. Di bulan tertentu, masyarakat dari pelosok berkumpul di Mekah kuno, berziarah ke Ka’bah yang telah disepakati sebagai bangunan suci yang didirikan oleh leluhur mereka dan dijaga oleh suku terpilih klan Hasyim. Kultur metropolis mempengaruhi begitu kuat terhadap sistem keyakinan masyarakat Mekah tradisional atau dalam terma sejarah Islam sebagai tradisi Jahiliyyah. Klan Bani Hasyim mengambil peran sebagai penjaga Ka’bah, namun Klan Umayah lah yang berperan penting dalam mengatur sistem sosial masyarakat saat itu.
Kerasulan Nabi Muhammad dipandang sebagai ancaman bagi klan Umayah karena takut kemasyuran mereka diambil alih oleh Klan Hasyim. Rasulullah mendapatkan perlakukan serupa dari para bangsawan Mekah seperti Ahab dan Izebel memperlakukan Elia. Nabi dan pengikutnya harus terpisah dengan tanah tempat kelahirannya. Tidak berbeda dengan apa yang terjadi di kota-kota kuno lainnya, sistem keyakinan mayoritas selalu merasa ketakutan terhadap kemunculan keyakinan baru atau penerus dari keyakinan sebelumnya.
Sekelumit kisah pertalian antara agama dan masyarakat perkotaan sering memperlihatkan ketidakjujuran antara nilai-nilai agama dengan apa yang ditampilkan oleh masyarakat perkotaan. Misalnya, agama memberikan tuntunan agar manusia lebih mendahulukan sikap sabar, pemaaf, dermawan, dan praktik kesalehan sosial lainnya. Namun, rata-rata masyarakat urban sejak dahulu tidak demikian, mereka telah menempatkan agama tidak sekadar tuntunan kehidupan namun disejajarkan dengan unsur-unsur budaya lainnya, dalam praktik ekstrimnya, agama justru dijadikan kedok, jubah, dan alat untuk mewujudkan keinginan. Hal ini terjadi di saat ajaran agama menuntut kepada pemeluknya untuk meminimalisasi sikap rakus dan tamak.
Hal ini menjadi salah satu alasan, antara praktik keagamaan masyarakat urban sering tidak sebanding dengan pertumbuhan spiritual. Sosok Ramses, Abu Jahal, dan Ahab merupakan contoh pemimpin yang membentengi diri dan kekuasaan mereka dengan tameng agama di saat para nabi dan rasul meninggalkan situasi urban yang menuntut popularitas, keangkuhan, dan pengakuan. Kita sama sekali sulit mencontoh secara paripurna tindakan para nabi dan rasul karena cenderung lebih memilih praktik yang dilakukan oleh Ramses, Abu Jahal, dan Ahab, hanya mempraktikkan ajaran agama namun belum menyentuh substansi.***