BELA & BELI

Oleh : Yusran Arifin (Penulis adalah penyair)

Kekonyolan itu kerap tak terhindarkan, dan kesadaran sering terjadi ketika segalanya telah berlalu dan melulu terlambat direvisi. Mungkin serpihan dari hakikat azazi manusia di mana, meski saya ingin menolak identitas itu, distigma semacam legitimasi untuk dijadikan piranti apologi.  “Al-Insanu Mahalul Khoto wan Nisyan”. Dan itu membuat tak berdaya, betapa lemahnya manusia. Tapi haruskah fasrah menerima takdir itu?

Bacaan Lainnya

Itu telah berlalu. Setback ini bukan untuk menyesali atau mengenangkan keburukan. Bukan untuk mengutuk salah satu kelemahan azazi manusia. Mungkin sekedar evaluasi, agar ke depan lebih berhati-hati dan tidak menyepelekan planning. Efek dari keterlenaan, atau mungkin sikap takabur, yang sebenarnya kebodohan nyata mesti terus diperbaiki dengan kerja keras, menuju kesempurnaan.

Ketika saya menerima telepon dan mandapatkan fisik undangan sebagai legal standing, yang paling buruk dari saya adalah merasa telah menguasai materi yang diwacanakan dalam TOR jauh sebelum undangan itu sampai ke tangan saya. Tema bordir telah berulang kali ditulis di media dan telah berulang kali dibicarakan, disampaikan dalam diskusi dan seminar-seminar. Telah begitu melekat di benak, dari mulai sejarah, proses produksi, pemasaran serta problematik kesehariannya.

Akibat dari kesombongan itu saya lupa tak mingindahkan TOR. Sehingga begitu keras kepalanya saya tidak mematuhi peta yang harus dilewati dan dipesan oleh moderator, E. S. Emmy Rahayu, Pemerhati Kerajinan, lewat pertanyaan pembuka yang diajukan, pada saat saresehan UMKM, di acara Ultah Kota Tasikmalaya ke 22 di Panggung Disduk, Jalan Mayor Utarya, Taman Kota. Sabtu 21 Oktober 2023. Saya terlalu yakin, bahwa dari sejarah orang bisa berangkat untuk mendapat kesadaran dan motivasi dalam berjuang selanjutnya. Karena sejarah terkadang tak terhindar bisa dijadikan inspirasi.

Saya berkelit dan “mawa karep sorangan” dari pertanyaan yang diajukan moderator, tentang masalah bordir, dan beberapa harapan dan kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mengangkat citra dan peluang pemajuannya. Dan saya lebih terkesan membahas sejarah masa lalu awal perkembangan bordir, seperti ada sesuatu yang belum tersampaikan dari ganjalan hati saya, terkhusus kepada Pemerintah.

Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke” yang berarti ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu tak ada pula sekarang. Narasi reflektif ini, mesti diinsyafi adalah nilai yang bisa dipetik dua arah dimensinya. Sebab, jika hanya memetik satu nilai, hanya menjerumus jiwa pada kubur romantisme dan “cengengisme“.

Mengenang jika untuk sekedar berbangga diri, hanya melahirkan absurditas sia-sia. Serupa “agul ku payung butut“. Afdolnya komparatif inspiratif bagi perjuangan ke depan. Memang penting, sesekali menoleh ke masa lalu, bagai dua kaca spion bagi laju langkah kita. Tapi tidak untuk larut dan terkubur di sana, sambil terus menepuk dada, tentang kejayaan moyang kita. Kita sendiri masih terus mencari identitas yang tak selesai diidentivikasi.

Kerja masa lalu mesti pula dihargai dengan proporsional yang logis. Dan untuk merawat kenangan itu, bukan berlebihan. Termasuk merawat hal fisiknya. Sertifikat bordir merupakan warisan budaya tak benda dan bordir sendiri penyumbang penting PAD Kota Tasikmalaya, mungkin akan lebih terjawab lebih bijaksana, ketika para entitas sejarah dihargai dengan layak. Seperti memperhatikan makamnya, saya pikir bukan hal buruk dan berlebihan. Dan ini telah berkali-kali saya sampaikan ke Pemerintah. Tapi saya khusnudzon, mungkin masih terganjal teknis, bukan karena soal sence of bilonging.

Saya baru sadar arah yang dikehadaki panitia, di mana kesadaran itu, mestinya merujuk pada TOR, yang kadung telah terabaikan lantaran kecongkakan. Tapi saya terbelalak ketika moderator, mengkonklusi perbincangan dan dari clossing statemen dua nara sumber lain, Hj. Enok Batik dan Eri Payung. Mengucapkan secara serempak jika ingin memajukan UMKM Tasikmalaya, tak ada jalan lain, kecuali “Bela dan Beli“.

Yang dikehendaki saresehan itu, pemerintah ingin menjaga, memajukan setiap potensi perekonomian yang dimiliki Kota Tasikmalaya. Maju yang bisa dipetik manfaatnya oleh masyarakat lebih luas lagi. Namun faktanya antara harapan dan kenyataan kerap “jauh panggang dari api“. Tak mengapa. Itu proses yang harus dijalani. Hasil bukan manusia yang memutuskan. Terus bebenah menuju kehidupan lebih baik dengan berjuang membela dan nembeli produk asli buatan publik sendiri.

Cag!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *