Oleh: Yayat Hidayat, M.Pd. (Guru SMAN 5 Tasikmalaya)
Sekolah sebagai lingkungan Pendidikan sudah seharusnya segala bentuk aktivitas yang ada di sekolah harus mempunyai arti dan nilai pendidikan dalam arti segala bentuk interaksi edukatif dari seluruh warga sekolah harus tercermin baik dalam prilaku, sikap dan tutur kata. Guru sebagai agent of change sudah barang tentu memiliki peran dan tanggung jawab untuk membangun dan mewujudkan budaya positif di sekolah. Sebagai pendidik, seorang guru harus mampu menciptakan murid yang memiliki disiplin diri sehingga mereka berprilaku mengacu kepada nilai-nila kebajikan universal dan memiliki motivasi intrinsik dalam perubahan perilaku yang lebih baik. Budaya positif merupakan perwujudan dari nilai-nilai atau keyakinan universal yang diterapkan di sekolah. Budaya positif diawali dengan perubahan paradigma tentang teori kontrol. Selama ini guru merasa punya kewajiban untuk mengontrol perilaku siswa agar memiliki perilaku sesuai yang guru harapkan. Perwujudannya, guru sering memberikan sanksi dengan ada harapan efek jera kepada siswa yang melakukan kesalahan dan memberikan hadiah / reward terhadap perbuatan / perilaku positif yang dilakukan siswa.
Berdasarkan beberapa penelitian, tentang teori kontrol, semua perilaku manusia pasti memiliki tujuan. Begitupula dengan perilaku siswa. Bahkan sebuah kesalahan yang dilakukan siswa pasti memiliki alasan. Alasan tersebut biasa disebut dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Ada lima kebutuhan dasar manusia yaitu:
1) Kebutuhan bertahan hidup (Survival) yaitu kebutuhan berkaitan dengan fisik seperti makan, tidur, tempat tinggal dll.
2) Kebutuhan Cinta dan kasih sayang (Penerimaan).
3) Kebutuhan Penguasaan (pengakuan akan kemampuan),
4) Kebutuhan Kebebasan (Kebutuhan akan pilihan), dan
5) Kebutuhan akan Kesenangan.
Ketika guru sudah mampu memahami kebutuhan dasar setiap siswa, langkah yang dilakukan adalah dengan menerapkan disiplin positif. Selama ini, disiplin dipahami sebagai tindakan untuk membuat siswa patuh pada aturan sekolah dan guru. Apakah seperti itu penerapan disiplin yang tepat? Ada dua alasan motivasi manusia dalam melakukan sesuatu, yaitu: Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, dan untuk mendapatkan imbalan atau reward dari orang lain.
Berdasarkan kedua alasan tersebut, tindakan pendisiplinan dengan melakukan hukuman atau memberi imbalan bisa disebut motivasi eksternal dan hal tersebut tidak akan bertahan lama. Dengan hukuman dan imbalan siswa memang menjadi patuh, tapi kepatuhan itu hanya sementara dan kedisiplinan yang diterapkan tidak mengubah karakter siswa menjadi lebih kuat. Fenomena ini akan berdampak pada pembentukan karakter di masyarakat sehingga berpengaruh dalam tatanan hidup bermsyarakat. Contoh kecil seperti budaya antri, menaati aturan lalulintas, kebersihan (Contoh: buang sampah pada tempat tepat) yang belum bisa menjadi karakter.
Oleh karena itu penerapan disiplin di sekolah harus dimulai dari nilai-nilai keyakinan atau kebajikan. Siswa melakukan kebaikan sesuai dengan keyakinan kelas atau nilai-nilai yang sudah tertanam dalam dirinya atau motivasi internal. Motivasi internal lebih berjangka lama dan membuat siswa makin kuat secara karakter. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang mengungkapkan bahwa disiplin kepada siswa adalah disiplin diri, sebab hanya diri sendiri yang mampu mengontrol diri kita bukan orang lain. Jika belum bisa mengontrol diri menurut Ki Hajar, penerapan dispilin dilakukan orang lain tapi dalam situasi merdeka bukan keterpaksaan. Artinya, siswa sendirilah yang menginginkan dirinya menaati peraturan sesuai dengan keyakinan universal atau keyakinan sekolah dan kelas.
Keinginan untuk melaksanakan keyakinan universal yang datang dari siswa atau kita sebut motivasi internal tersebut dapat diwujudkan dengan Restitusi. Restistusi adalah upaya mendisiplinkan siswa tapi dengan cara siswa sendiri yang menyelesaikan masalahnya dan membuat mereka bertindak sesuai dengan keinginan ideal yang didasarkan pada keyakinan kelas. Hal tersebut tentu akan berjalan dengan semestinya ketika guru menempatkan diri sesuai dengan posisi kontrol yang tepat. Posisi kontrol guru yang terbaik adalah posisi seorang manajer. Di dalam posisi ini, sikap guru ketika melihat siswa melakukan kesalahan tidak langsung menghukum atau menasehati, tapi diawali dengan sikap memahami tindakan siswa bahwa ketika siswa bersalah itu biasa karena memang setiap manusia pasti pernah bersalah (Menstabilkan Identias). Selanjutnya guru juga mencoba memahami alasan atau kebutuhan dasar apa yang ingin dipenuhi siswa dengan perilakunya tersebut (Validasi Tindakan yang salah). Selanjutnya, siswa diingatkan tentang keyakinan kelas dan dipancing dengan pertanyaan tentang bagaimana seharusnya sikap mereka menurut keyakinan kelas dan jawabannya datang dari siswa sendiri. Kemudian baru ditanyakan solusi terbaik menurut siswa tersebut yang berdasarkan keyakinan tadi (menanyakan Keyakinan). Saat melakukan restitusi seorang manajer, tentu tidak bersikap emosional, tidak juga merasa bahwa dia yang benar dan siswa harus mengikuti aturan saya.
Jika siswa bersalah sebenarnya gampang saja menyuruh mereka meminta maaf kemudian menjalankan hukuman yang kita berikan, siswa pun menuruti kemauan guru. Dengan seperti itu seolah masalah selesai. Akan tetapi, sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat menyemai benih kebudayaan. Kebudayaan dibentuk dari kebiasaan dan menjadi karakter. Diharapkan dampaknya lama, jangka panjang. Pendidikan sejatinya mampu menumbuhkan manusia-manusia terbaik yang berpegang pada nilai-nilai keyakinan yang memiliki kemerdekaan jiwa, bukan hanya membentuk generasi yang patuh karena tekanan dan aturan tapi jika menghendaki siswa patuh pun karena mereka mematuhi keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang sendiri bukan aturan yang guru atau sekolah paksakan.
Oleh karena itu, restitusi adalah sebuah upaya untuk membuat siswa mampu mengevaluasi diri mereka sendiri agar menjadi manusia yang baik sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal dan sebuah upaya agar setiap kesalahan yang dilakukannya menjadi bahan pembelajaran agar dirinya menjadi lebih baik, menjadi lebih kuat karakternya dan penghargaan pada diri mereka sendiri pun menjadi bertambah.
Dengan penjelasan di atas, diharapkan budaya positif di sekolah dapat terwujud dan sekolah sebagai tempat menyemai benih kebudayaan atau pembentukan karakter bukan hanya sebagai mimpi indah yang hanya menjadi cerita indah dalam buku-buku teks pelajaran.