Roh-Roh Terkutuk Juju Kaitsen di Tomoro Sore Itu

Tomoro Reading, Jumat (18/7/2025).

Tasikmalaya – Ruangatas.com | Membaca bagi mereka yang berkumpul tiap Jumat sore di Tomoro, bukan barang baru. Seperti seorang pecandu kopi yang bisa berlama-lama sendirian di kafe. Ia bisa bertahan karena menyepi dan bermain imajinasi. Berbeda lagi dengan pencinta teh, ia mampu mendalami peristiwa dengan lebih intim.

Begitulah mereka setelah nyaris 7 bulan, sejak kolaborasi bacaan di Instagram pada Januari 2025, mulai bertatap muka di daratan realitas. Pertemuan mereka ini sangat unik. Bagaimana tidak, algoritma yang berbasis numerik telah menautruatkan berbagai teks yang menghubungkan mereka. Baik secara sintaksis dan semantik pemikiran lindap maupun liar mereka, inilah hasil dari bagaimana gelombang nasib bekerja dengan segala frekuensinya yang acap kali tidak tertebak logika.

Bacaan Lainnya

Semacam musik yang metronomnya diatur oleh degup jantung. Denyut seseorang akan mengatur ritme lagu berdasarkan kehendak isu yang bergelut dengan kegelisahan mereka. Atau lebih dari itu, orkestrasi dari tiap masalah yang tidak terpecahkan oleh tiap individu, lamat-lamat berbenturan ketika pertemuan tidak lagi jamak, tapi tunggal. Inilah lokus genius.

Mereka memiliki agenda ngopi dengan membawa segudang ide dari hasil bacaan-bacaannya.

Membawa buku saat ngopi semacam pengingat, bahwa segala yang berbau keluh kesah di dunia pendidikan, kerja, sosial, dan kehidupan itu hanyalah lintas waktu saja. Tinggal kita memilih mana pembahasan ide, dan mana pembahasan umpatan hidup.

Lihatlah Deni yang seorang admin apotek, tapi ia tertarik membaca buku si Lugu karya Voltaire, misalnya.

Alasan ia tertarik buku tersebut, awalnya bukan karena penulisnya, sampulnya atau judulnya. Melainkan karena ia tidak tahu kenapa ingin membaca sedikit mengenai bukunya. Karena ada kalimat yang membuat ia langsung tertarik dengan buku ini yaitu, “Yang paling menonjol dari dirinya sebagai seorang pemikir, ahli filsafat, penulis karya sastra dan sejarah adalah kebenciannya pada kefanatikan, diskusi filsafat dan keagamaan yang dinilai terlalu bertele-tele, sehingga tidak masuk akal dan mengabaikan masalah masalah manusia yang utama.”

Setelah membaca paragraf itu, ia berpikir bakal seru untuk membacanya. Yang menggelitik dan membuat sedikit shock katanya mengenai penulis buku setelah dibantu mesin pencari adalah dia tidak percaya mengenai tuhan(?). Dari sana, tidak tahu kenapa langsung tersirat dalam pikirannya, “Apakah saya akan tidak percaya Tuhan setelah baca buku ini? Hahaha.” sambil terkekeh mengungkapkan impresi Deni terhadap karya Voltaire.

Invasi Pemeran Jujutsu Kaisen di Sore Itu

Bubuh yang sibuk PPG Guru, tapi tetap menyempatkan diri untuk membagi hidupnya dalam atmosfer bahasan tentang buku-buku. Serta, mereka juga tidak lupa membahas film “Jujutsu Kaisen”.

Jumat sore (18/7/2025) menuju Magrib, ada edisi khusus dari Tomoro Kopi. Gelas-gelas kopi dihias karakter Jujutsu Kaisen, yakni Megumi Fushiguro, Nobara Kugisaki dan lainnya.

Di hadapan buku dan gelas kopi bergambar karakter Jujutsu Kaisen : Megumi Fushiguro, Nobara Kugisaki dan yang lainnya, mereka seakan belajar mengontrol diri sendiri.

Mereka semacam dalam atmosfer “Roh Kutukan-Kutukan” rasa cemas, rasa gagal, dan suara-suara tak kasat mata yang terus menggema (nafsu-nafsu duniawiyah).

Roh kutukan itu nyata. Mereka berusaha menerima serta mengenalinya. Harapannya terlahir sekolah Jujutsu Kaisen lainnya. Semisal menjadi tempat “Munajat” Utopia Seorang Lelaki Yang Lelah karya Luis Borges.

“Jika engkau kutukan, ajarilah aku mengendalikannya tanpa harus musnah.”

Mendengar Mimpi Seorang Sekretaris Desa dan Kisah-Kisah Lelaki Gamang

Uje Hamdan, seorang Sekdes Desa Mekarwangi berusaha memaparkan ide-ide tentang desanya. Terkhusus ihwal pengelolaan sampah yang masih menjadi PR besar di desanya. Sehingga hari itu, dia mengeksekusi dengan sebuah kegiatan kebersihan sosial anak-anak muda di desanya. Terutama pengolahan limbah sampah bersama anak-anak Kampung Cidahu.

Ada juga yang mahasiswa STHG sepulang ujian sidang skripsi, Naufal. Ia kerap merespons dari sisi keahliannya di wilayah hukum. Percakapan menjadi bernas di antara obrolan-obrolan rumpang sore itu.

Si kacamata keriting yang pecinta Chairil Anwar, Irlan, semakin berani mengemukakan dan membuahkan sebuah keinginan. Irlan lebih setuju lingkar pembaca ini sebagai atmosfer. Tidak melulu harus berjenama maupun melembaga. Membiarkannya lebih natural agar orang-orang tertarik bergabung tanpa harus terorganisir, tapi organik.

Bagi Indra, ada sedikit dilematis dalam dunia pendidikan dan ajar-mengajar. Dalam konsepnya yang sudah matang, ia bermimpi menjadi guru yang semengasyikkan rujukan film “Dead Poet Society”. Berbeda halnya dengan Bubuh, ia sendiri memosisikan mengajar adalah sebuah sampingan. Agar tidak terlalu kaku dalam pola ngajar.

Percakapan kerap kali menjadi sisa abu pada asbak. Semacam para pencandu nikotin tiap meninggalkan kedai dengan hal-hal yang tak pernah usai. Tumpukan puntung rokok juga terserak dan pikiran berakhir di tong sampah. Orang-orang ini berbeda, mereka bersepakat tanpa kesepakatan tulisan dan lisan untuk mengarsipkannya pada riwayat catatan, audiovisual dan hal-hal muskil lainnya. (Bubuh/VAR)***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *