Tasikmalaya – Ruangatas.com | Karena motivasi dan cita-citanya sederhana, di mana pun tempatnya, itulah sekolah dan kampus. Pendidikan adalah atmosfer, bukan bangunan-bangunan megah, tapi manusia-manusianya kosong dan lemah.
Tomoro Coffee menyambut aktivasi terhadap para pembaca untuk meramaikan esensi literasi di kedai kopi. Pihak Tomoro memberikan reward kepada mereka yang membaca dengan jamuan kopi tiap hari Jumat (Pukul 16.00–18.00 WIB). Hal ini berlaku khusus bagi para pembaca tersebut.
Pada aktivasi pertama di Tomoro Coffee ini merupakan bagian dari Trilokus para pembaca dan penulis untuk menggaungkan isi daripada sampul. Trilokus tersebut terdiri dari Pemuda Penimbun Harta (Sidang Arsip Tulisan), Tomoro Coffee (Bicara-Dengar Bacaan), dan Caspia Cafe (Bicara-Dengar Bacaan).
Namun bagaimanapun, seperti pada paragraf pertama, atmosfer pendidikan mesti terjadi di beragam tempat. Gerakan ini adalah revolusi pendidikan agar orang-orang saling memberi ruang dan daya di mana pun tempatnya.
Tanggal di kalender sudah berganti, tepatnya malam satu Muharram, Kamis (26/6/2025).
Bubuh Bukhari, satu dari pembaca yang hadir, merefleksi pertemuan para pembaca yang melakukan kolaborasi bacaan dalam bentuk sinopsis dan ulasan di media sosial. Beberapa orang duduk di satu meja. Tidak ada yang mengaku pimpinan yang haus spiker pembukaan. Pun masing-masing seperti membawa satu benda kecil: sebuah bola karet.
Satu bola memantul di tanah liat dan tampak kotor, belepotan, tapi setiap pantulannya terlihat pasti.
Dari luar tampak asal-asalan, tapi bentuknya perlahan muncul kebetulan dan terasa sangat menyejukkan.
Satu bola lagi memantul di atas buku hukum.
Pelan. Setiap pantulannya menyentuh buku tiap halaman.
Tidak berhenti. Seperti seorang salik yang menemukan hikmah di balik ruang-ruang sidang gerah.
Ada bola yang memantul di ban sepeda: Meloncat, menepi, dan menabrak pedal. Namun tetap bergerak dengan irama kasual. Iq seolah malu-malu berkata, “liar”. Padahal, ia sudah menemukan dirinya dan diam diam menundukkan kehayawaniyahan.
Satu bola tidak terlihat, tapi ruang di sekitarnya terasa hidup. Entah dari mana pantulannya, tapi semua yang hadir bisa merasakannya. Hanya berbunyi, “Lebih ke-.” semisal lonceng kesadaran.
Dan satu bola lagi masih digenggam, bukan karena enggan, melainkan karena mencintai cara-cara unik untuk memainkan pantulan keaslian. Seperti qana‘ah dengan kopi gratisan yang harus dimaslahatkan.
Lalu terdengar satu kalimat sederhana penuh keindahan dalam lafaz: “Rahim Ibu.”
Semacam jalan pantul paling sederhana nan berperikemanusiaan.
Bola-bola karet yang memantul tidak saling menundukkan. Bukan pula untuk “permainan”. Tapi semacam isyarat bahwa mereka masih bergerak, masih mencari, dan sudah “agak” sadar arah pulang.
Seperti saling menyapa, sekutu-sekutu pantulan: “Topi Jerami” yang menghargai napas kehidu-FUN.
Begitulah daya tarik-menarik bacaan dengan realitas. Bahwa, frekuensi antarindividu yang bertemu begitu kuat. Mereka khusyuk mencaritemukan rupa manusia pada kedalaman palung diri masing-masing. ***