Tomoro Reading: Pembaca yang Baru Bergabung dalam Lingkar One Piece

Tasikmalaya – Ruangatas.com | Tumpukan pada sebuah meja dan membaca di sisi jalan masuk sebuah kedai di Simpang Lima adalah awal mulanya. Seorang lelaki yang nyaris paruh baya, meniatkan dirinya untuk kampanye bahwa para pembaca masih ada di sebuah kota kecil, Tasikmalaya.

Lamat-lamat, ia mulai ditemani oleh orang-orang acak dan teman dekat. Mereka bersepakat untuk membunyikan isi daripada sampul buku bacaan masing-masing. Pada Jumat kedua (4/7/2025) di Tomoro menghadirkan seseorang yang menyengajakan diri untuk bergabung ke dalam lingkar pembaca. Akunya, ia rela mengubah jadwal shift kerja demi berkumpul dengan pembaca lainnya.

Bacaan Lainnya

Deni Firmansyah adalah seorang admin apotek yang terpanggil untuk mengetahui atmosfer pembaca di Tomoro Simpang Lima tiap Jumat sore. Kesan pertama menurutnya, merasa seru memiliki teman diskusi, karena ia merasa punya sedikit teman. Sebelumnya, ia melihat seseorang yang membawa buku ke Tomoro, maka ia tertarik untuk berdiskusi. Namun, ia merasa rendah diri sehingga mengurungkan niatnya untuk bercengkerama. Suatu hari, Daffa yang juga penanggung jawab di Tomoro mengunggah aktivasi diskusi pembaca pada Jumat sebelumnya. Deni menanyakan jadwal diskusi bacaan kepada temannya itu.

Deni menuliskan kesan sebelum dan setelah bergabung ke dalam lingkar:

_Jadi, hari ini, saya menemukan hal baru. Yang mungkin bisa menjadi habit baru saya. Yang telah lama saya cari-cari, sih, sebenarnya, yaitu berdiskusi buku. Hal ini berawal dari suatu hari, saya ngopi di Tomoro. Kebetulan, teman saya berkerja di sana. Lalu, saya bertemu dengan seorang bapak-bapak yang di mejanya ada tumpukan buku. Saya tertarik untuk berdiskusi dengan beliau, karena saya juga suka baca buku. Akan tetapi karena jiwa tidak pede saya gede, saya mengurungkan niat tersebut dan hanya ngopi saja di sana.

Suatu hari, teman saya memposting sebuah aktivitas baca, saya lupa unggahan itu di instastory Instagram atau WhatsApp. Pokoknya tentang bakal ada diskusi mengenai buku di Tomoro. Dari unggahan itu, saya tertarik untuk bergabung ke sana. Alasan pertama, saya suka diskusi dan buku juga. Dan kedua, kebetulan saya mencari relasi atau lebih tepatnya circle baru, sih. Ini kebetulan atau nggak tahu jalannya dari yang di atas, saya mendapatkan circle baru yang mana saya sendiri menyukainya.

Hari-hari berlalu dan mendekati hari yang mungkin bisa saya bilang sangat ditunggu. Saya sedikit kecewa karena ternyata peresmiannya itu hari Kamis. Dan teman saya ngga kasih tahu. Lalu yang bikin sedikit kecewa itu, saya di hari itu bagian shift pagi untuk bekerja. Kemudian, saya chat ke teman saya ternyata itu hanya untuk peresmian saja. Untuk fiksasinya itu hari Jumat. Dan ketika melihat jadwal Jumat, saya mendapatkan shift sore Minggu depannya. Maka dari itu, saya nggak bisa gabung, dong. Dari sana, saya berinisiatif untuk mengubah jadwal ke apoteker saya karena ingin banget untuk gabung ke sana.

Hari Jumat pun tiba, ketika saya datang, ternyata di sana sudah berkumpul. Saya masuk saja dan nggak menyapa mereka terlebih dahulu karena malu. Di sana, saya memesan kopi ke teman barista, Daffa. Dan untungnya, teman saya peka untuk memperkenalkan saya kepada mereka. Saya pun berkenalan dan obrolan pun mulai menali.

Dari obrolan itu, saya masih merasa malu, sih. Karena saya belum terbiasa untuk bersosialisasi. Akan tetapi, saya berpikir jika terus seperti itu, kapan saya akan maju atau mendapatkan circle(?). Makanya, saya ya speak up dan ternyata asyik juga berada di sana. Dalam artian, saya enjoy berdiskusi dengan mereka. Selain bisa menjadi pendengar sekaligus teman diskusi juga. Asyik, sih, nemu circle baru seperti ini. Dan ternyata, diskusi buku ini ada di Caffe Caspia juga. Katanya lebih seru karena suasana di sana lebih deep. Apalagi tempatnya didukung oleh suasana yang memang nyaman untuk berdiskusi daripada di Tomoro – yang tempatnya di luar dan berisik oleh lalu-lalang kendaraan.

Begitulah sepenggal cerita seorang apoteker yang butuh lingkar baca, dengar, dan bicara.

Selain Deni, ada juga seorang perempuan yang sepulang kerja di sore gerimis. Silfa namanya. Yang notabene, ia bekerja di Bawaslu Kabupaten Tasikmalaya. Ia mencoba berusaha hadir juga. Dengan mata sayu dan letih sepulang kerja, ia berusaha membawa diri untuk larut dalam percakapan. Ia membunyikan sedikit bacaan sebelumnya ditimpali bertubi-tubi pertanyaan tentang arah hidup ke mana ia menuju. Beberapa penggal bacaannya, ia utarakan ke dalam percakapan dari buku Cita-Cita Titik Dua Petani karya Kanti W. Janis.

Di luar, gerimis masih turun dan kian menipis halus. Elang, seorang aktor Teater 28 datang dengan motor bebek tuanya. Sejak langsung bergabung, tanpa basa-basi, ia memberedel pertanyaan tentang GAP antargenerasi. Dari pertanyaannya itu, ia merasa bingung dengan daya kritis, aksi, dan serap Genzie dan Alpha.

Di antara mereka saling merespons tentang GAP antargenerasi tersebut. Bahwa, pada dasarnya, tiap generasi memiliki kelebihan dan kekurangannya. Yang paling penting daripada saling mengomentari, yakni memberikan trust dan memintal komunikasi serta kolaborasi.

Ebih yang bertugas sebagai dokumentasi aktivasi, menautkannya dengan keberkesanannya pada sebuah lanskap dalam film “One Piece”.

Episode paling menarik dalam anime “One Piece” menurutnya, yaitu seni perang Marineford. Perang ini terjadi karena salah satu komandan Divisi 1 bernama Portgas D Ace ditahan dan dieksekusi mati di markas besar Angkatan Laut. Pada arc ini juga sangat banyak insiden besar yang terjadi dan rahasia terungkap. Mulai dari asal muasal Luffy sebagai tokoh utama, kematian kaisar lautan Shirohige, kekuatan admiral Sengoku, kemampuan bajak laut Kurohige yang bisa mengambil kekuatan buah iblis, dan munculnya bajak laut Akagami untuk mengakhiri perang di akhir episode.

Sebelumnya, Fajar yang seorang guru SD membawa bacaannya berjudul 100 Inovasi Sosial dari Finlandia. Buku ini dieditori oleh Ilkka Taipale dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Selain membawa bacaannya, ia juga menumpahkan buncah perspektifnya terhadap realitas pendidikan. Kesehariannya bekerja untuk mengajar, membuka matanya bahwa pendidikan yang terpancaindrainya masih belum memberdayakan calon-calon manusia.

Dengan begitu, ia juga mengaku bahwa bergabung dengan pembaca lain sebagai ikhtiarnya untuk menyempurnakan patron pendidikan terbaik yang ingin ditemukan dan digunakannya di kelas. Berkali-kali, ia memaparkan mimpinya kepada Elang, Ebih, Deni dan lainnya. Suatu hari, ia ingin memiliki keberanian untuk menjadi seorang guru yang memberikan cahaya kecil bernama harapan. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *