Ngaji Literasi Musik Psikedelik: Menyimak “Mazmur” Perlawanan dari Suara Lampau

Tasikmalaya – Ruangatas.com | Kedai Kopi PPH (Pemuda Penimbun Harta) membuka ruang dialog lintas wacana dengan menggelar forum Ngaji Literasi bertajuk “Trilogi Sang Progeni dalam Mazmur Psikadelik” Jumat malam, (20/6/2025).

Diskusi ini merupakan bagian pertama dari trilogi yang membahas The Peels: Musik, Langit Merah, dan Perlawanan. Diskusi terbuka untuk siapa saja dan gratis ini akan rutin diadakan oleh Kedai Kopi PPH di Jl. Rasamala No. 12, Kelurahan Tawangsari, dengan berbagai topik menarik, mulai dari musik hingga isu lainnya.

Dalam sesi ini, Pemuda Penimbun Arsip (Sys Wan) hadir sebagai narasumber utama dan Vudu Abdul Rahman sebagai moderator. Dalam forum yang berlangsung hangat sejak pukul 20.00 hingga 22.00 WIB ini, para peserta diajak menyelami musik psikedelik Indonesia sebagai ruang arsip, perlawanan, dan spiritualitas kontemporer.

Menurut Sys Wan, trilogi ini lahir dari keprihatinan terhadap ketiadaan Tasikmalaya dalam peta narasi musik nasional.

“Tasik itu ngeri (terkagum-kagum), banyak arsip dan bunyi-bunyi yang belum dibaca sebagai bagian dari sejarah musik Indonesia,” ujarnya.

Mengapa The Peels? Sys menyebut grup musik ini sebagai mata rantai awal dari kemunculan band-band besar seperti Shark Move dan The Giant Step.

“The Peels adalah embrio. Sebelum Shark Move dikenal luas, mereka sudah menanam benih dalam lanskap musik psikedelik yang anti-arus utama,” tambahnya.

Istilah “mazmur psikedelik” sendiri ditawarkan sebagai metafora dari gabungan antara ayat-ayat yang sakral dan musik psikedelik yang pada zamannya dianggap menyimpang atau subversif.

“Mazmur adalah puisi spiritual, dan psikedelik adalah genre tandingan. Keduanya saya tempatkan sebagai bentuk liturgi alternatif yang mengguncang arus dominan,” kata Sys.

Membaca ulang The Peels di era Orde Baru, menurut Sys, tidak bisa dilepaskan dari konteks represi dan sensor negara. Namun alih-alih mematikan kreativitas, sensor justru menjadi katalisator bagi tumbuhnya ekspresi-ekspresi musikal yang lebih liar, eksperimental, dan berani.

Ia berharap forum ini menjadi ruang tumbuh baru bagi musisi dan warga Tasikmalaya.

“Saya ingin Tasik jadi bagian dari narasi musik nasional. Ini bukan nostalgia, tapi pembacaan ulang agar suara lokal tidak tenggelam,” pungkasnya.

Ngaji Literasi ini bukan hanya sekadar forum diskusi, tetapi ruang arsip dan tafsir kritis yang menghidupkan kembali sejarah bunyi sebagai bagian dari ingatan kolektif dan kesadaran saat ini. ***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *