Review Buku: Senja Yang Tersisa Karya Suplan Azhari

Pertama kali membaca buku “Senja Yang Tersisa” yang ditulis oleh Suplan Azhari, akan membawamu terombang ambing seperti kapal laut Pelni—MV. Koan Maru yang mengantarkan penulis menuju puncak pengharapan. Bahkan, buku ini akan membawamu terheran-heran dan merubah pola hidupmu untuk lebih terarah. Dari sekian banyak peristiwa yang penulis catatkan dalam buku ini dapat dinyatakan bahwa penulis memiliki daya rekam otak/ingatan yang sangat kuat. Padahal, dilihat dari segi usia penulis sudah cukup tua.

Di usia yang ke- 77 tahun, penulis masih kuat mengingat perjalan dan meramu berbagai kisah kehidupannya. Memoar ini sangat asyik dibaca, kiranya tidak hanya sebagai autobiografi tetapi buku ini dapat menjadi alternatif untuk membangun kesadaran diri atas apa yang diberikan Tuhan, tentang manis-pahitnya kehidupan yang merupakan bagian dari keberkahan-Nya. Maka, setelah membaca buku ini, konflik batin pembaca akan melahirkan makna yang begitu mendalam, karena secara emosional akan terbawa arus alur cerita.

Bacaan Lainnya

Siapakah sebenarnya Suplan Azhari? Apa yang diamalkan dalam perjalanan hidupnya? Bagaimana tips menjaga ingatan menjelang tua? dan akan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya jika dibaca dengan seksama.

Buku ini, mengupas tuntas memori hasil dari ingatannya dan menghimpun banyak peristiwa dari sejak kecil sampai menceritakan kehidupannya saat ini. Tatkala, berdasarkan pengakuannya ia yang sudah lansia tertatih-tatih merangkai cerita dan harus berusaha mengingat-ingat masa lalu. Proses inilah yang menyemangatinya dalam menulis memoar ini agar menjadi terapi menjauhi demensia pada masa senja. Buku ini, menggambarkan bahwa penulis merupakan seseorang yang sangat peka terhadap berbagai situasi dan kondisi dalam berkehidupan, kadang ia berperan serupa hero untuk mewarnai hidupnya, bahkan ia cukup humoris dalam mengambil sikapnya.

Membaca jejak peristiwa perjalanan penulis, memoar dari Bangka sampai ke Tasikmalaya. Banyak sekali point-point penting yang perlu kita contoh dan patut kita teladani. Terutama dalam perjuangan untuk menempuh pendidikan di tengah keterbatasan ekonomi. Atasdasar kondisi keuangan orang tuanya yang tidak menggembirakan, rasa percaya diri dan motivasi untuk terus memberikan yang terbaik itu terbangun dan memiliki energi yang cukup kuat. Penulis rela berkorban meninggalkan kampung halaman dan orang-orang tercintanya demi meniti perjalanan menuju ketenangan. Ini adalah kisah yang sangat menyedihkan sekaligus menjadi kisah inspiratif dalam menunjukkan keteguhan hati sampai ia menemukan jati dirinya. Sebagai determinasi individu untuk meraih impian, maka buku ini adalah alternatif bagi pembaca yang rapuh hatinya supaya termotivasi dalam menjalankan kehidupan.

Buku ini sangat sederhana, dari segi bahasa yang digunakan dengan gaya penulisan yang mudah dipahami pembaca, penulis berhasil menyampaikan pesan-pesan yang kompleks dan kaya akan makna. Hal tersebut membuat buku ini cocok untuk berbagai kalangan pembaca, termasuk mereka yang mungkin tidak terbiasa dengan bahasa yang rumit. Sebagai hasilnya, pembaca dapat dengan mudah terhubung dengan isi buku, serta penulis pandai menciptakan ruang-ruang refleksi dan introsfeksi untuk memahami pembelajaran yang disampaikannya.

Melalui buku ini, kita dapat belajar banyak tentang ketekunan, konsistensi, koneksi, kesederhanaan, empati, kemandirian, dan perjuangan dalam proses perjalanan hidup. Sungguh, tidaklah gampang menjadi sosok seperti penulis buku ini, tatkala segala bentuk rintangan telah ia taklukkan untuk mencapai tujuan dan meraih impiannya sendiri. Dibalik semua itu, penulis dikisahkan memiliki dukungan sosial dan emosional serta mental yang sangat kuat. Koneksi yang ia miliki, merupakan modal dasar yang sangat berharga dalam mencapai berbagai tujuan dalam hidup, baik itu dalam karier, pengembangan pribadi, atau kesejahteraan sosial dan ekonomi. Penulis juga sangat pandai membangun dan merawat hubungan yang positif dengan keluarga, kerabat, maupun orang lain, tak heran ia meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupnya.

“Senja Yang Tersisa” dapat dianggap sebagai bukti nyata dari terapi demensia. Dari niat sampai perjalanan kariernya di tanah Jawa, hingga saat ini ia bermukim di Tasikmalaya merupakan pengabdiannya untuk nusa dan bangsa. Perlu kita sadari, dalam hal menulis sebagai terapi demensia ini sangat penting untuk merangsang keterampilan kognitif, mengekspresikan diri, meningkatkan kesejahteraan emosional, merawat memori dan kenangan, serta membangun koneksi sosial. Melalui aktivitas menulis dan berbagi pengalaman hidup, buku ini mengabarkan manfaat bagi penulis dan membuka pintu pemahaman yang lebih baik tentang pengelolaan demensia. Maka, buku ini kiranya dapat dijadikan rujukan bagi siapapun yang ingin menulis, termasuk lansia yang benar-benar ingin merawat ingatannya. Namun persoalannya, siapakah yang akan lahir kembali untuk membimbing kepenulisan bagi lansia selain Vudu Abdul Rahman? Semoga Tuhan menciptakannya!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *