Ruangatas.com | Dilema memilih. Dalam hidup yang penuh dengan pilihan-pilihan, kita dituntut untuk menentukan pilihan. Apakah pilihan kita sudah benar? Rasa-rasanya tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu memastikan apakah jalan yang dipilih sudah benar atau belum benar.
Tetapi, kita harus terus menerus berupaya untuk mencari, belajar memantaskan diri,menabung kesucian. Salah satu dialog dalam film “Rayya: Cahaya di atas Cahaya” adalah bahwa salah satu tugas utama hidup manusia adalah mencari.
Begitupun dalam menentukan pilihan dalam berbagai hal, apakah berdasarkan kebutuhan atau keinginan, berdasarkan nafsu atau akal. “Cobalah engkau beranjak dari kursi, pergilah ke cermin. Sejenak saja. Tataplah wajahmu, badanmu, pakaianmu, dan seluruh penampilanmu. Setidaknya, engkau bisa menyadari satu hal saja : “bahwa potongan rambutmu yang seperti itu, jenis dan warna baju dan celanamu, juga seluruh benda yang menempel dibadanmu, semuanya adalah sesuatu yang engkau pilih sesuai dengan kesenanganmu”. (EmhaAinun Nadjib, Pilihan – Bongkah 2021).
Demokrasi memberikan kebebasan kepada kita untuk memilih. Namun, jarang diinsyafi bahwa kebebasan atau kemampuan memilih sejatinya harus berpasangan dengan kemampuan mengontrol terhadap setiap yang kita pilih.
Sepertinya tidak demikian yang terjadi. Kita harus memilih, tetapi tidak ada kepastian bahwa kita akan mampu mengontrol orang-orang yang kita pilih. Menurut Mbah Nun, inilah salah satu dilema yang kita hadapi sebagai bangsa.
Kalau kita makan, kita punya kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak.
Setiap pilihan resikonya adalah harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu yang kita pilih. Disitulah kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus memilih pemimpin tanpa sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang kita pilih itu.
Bahkan lebih dari itu, bukan hanya tidak sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya pengetahuan yang mencukupi sama sekali mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita tidak tahu sebenarnya calon walikota dan wakil walikota ini kualitasnya bagaimana, menjalani hidupnya bagaimana, istrinya berapa, akhlaknya bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan tokoh-tokoh terkenal pun rakyat tidak tahu. Bapak ini, Kiyai itu, orang nggak tahu sebenarnya. Dan kalau pun mereka tahu, mereka tak punya daya kontrol terhadap yang dipilihnya ini, tapi mau tak mau harus memilih. Ini saya kira dilema kita Bersama. Kita terbiasa hanya memperhatikan satu jengkal yang ada di depan mata. Jangankan untuk melihat cakrawala yang sedemikian luasnya, bahkan untuk memutar arah penglihatan, dan melatih daya pandang agar jarak pandang semakin jauh dan luas, kita enggan.
Yang kita ributkan hari ini adalah siapa calon Kepala Daerah dan wakilnya yang pantas untuk kita pilih pada 27 November mendatang. Tetapi, kita sangat malas untuk mempelajari apa visi dan misi meraka, bagaimana rencana jangka pendek, menengah, dan panjang yang mereka canangkan, siapa saja orang orang yang ada dibelakang mereka, bahkan hingga siapa saja yang membiayai pendanaan kampanye mereka, kita sangat malas untuk mencari tahu dan mempelajari itu semua.
Siapa atau apa yang salah dengan fenomena ini sebenarnya? Setiap lima tahun kita memilih Kepala Daerah, yang mayoritas rakyat hampir tidak benar-benar mengenali siapa yang akan mewakili mereka. Hanya sedikit saja masyarakat yang memiliki kepekaan untuk mencaritahu apa visi dan misi, dan program-programnya. Pada akhirnya kita menjadi pemilih yang pragmatis, memilih hanya berdasarkan selera, like dislike atau pertimbangan-pertimbangan yang rasional sesuai dengan pertimbangan kita karena pengaruh-pengaruh media sosial.
Lingkar Daulat Malaya