KALA UNGGAH | Ruangatas.com
Oleh: Rakean Wanen Ismaya
CAPRUK
Harus jujur saya katakan, sebenarnya saya lagi bodoh-bodohnya dikarenakan ada banyak saluran dalam pikiran saya yang mampat alias ngabuntut bangkong. Musabab itulah apa yang ingin saya tuliskan di sini bersifat ngacapruk. Namun tidak menutup kemungkinan dari ngacapruk ini saya bisa mengambil hikmahnya pun demikian dengan Anda yang merelakan waktunya untuk membacanya. Dalam jejak baca tentu ada filosofi yang terkandung di dalamnya bahwa hidup adalah lembah dan jurang yang harus kita maknai; manakala hidup adalah rangkaian pelajaran yang harus dihayati untuk dimengerti.
Dengan kita mengerti, maka apa pun keputusan yang kita pilih bersifat mutlak dari hasil jejak baca yang mana buahnya bisa subjektif pun bisa juga objektif. Namun satu hal yang harus diingat adalah; subjektif kata siapa dan objektif kata siapa? Tegasnya adalah benar kata siapa dan salah kata siapa? Sepertihalnya diksi kala yang berarti waktu, tapi tidak menunjukan kapan kejadiannya. Beda dengan sinonimnya yaitu diksi wanci yang menunjukkan suatu waktu, musabab diksi wanci selalu diikuti dengan kata berikutnya, misalkan; wanci pasosore, wanci kapeutingnakeun dan lainnya.
Atau jangan-jangan diksi kala dan diksi wanci punya kedudukannya yang berbeda dalam arti berdiri sendiri tidak bersifat sinonim? Jadi, dengan kita mengerti, maka apa pun keputusan yang kita pilih bersifat mutlak dari hasil jejak baca yang mana buahnya bisa subjektif pun bisa juga objektif. Namun satu hal yang harus diingat adalah; subjektif kata siapa dan objektif kata siapa? Tegasnya adalah benar kata siapa dan salah kata siapa?
Pun sama dengan diksi unggah yang mempunyai arti naik (ke tempat yang agak tinggi). (Naik ke tempat yang lebih tinggi) unggah ka tepas. Naik ke serambi (Bahasa Indonesia). Di sini pun kita bisa menemukan makna berbeda ketika diksi unggah menjadi bahasa pengantar dengan diksi berikutnya, misalkan: unggah adat yang menjadi paribasa, dan lainnya. Beda lagi makna kalau diksi unggah menjadi unggah-unggahan; tradisi yang dilakukan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Ada makna lain dari unggah-unggahan ketika ditambah diksi tradisi di depannya yang mana kandungan makna dari tradisi unggah-unggahan adalah; tradisi unggah-unggahan memiliki makna kesiapan untuk taat kepada Allah. Hal ini karena selama bulan puasa, masyarakat yang menjalankan ibadah (puasa dari segala hal) harus menahan nafsu selama sebulan penuh. Dalam masyarakat Jawa, tradisi unggah-unggahan juga menandai berakhirnya Sadranan (tradisi berziarah ke makam para leluhur) di bulan Ruwah.
By the way… ah, ya tentu saja, rasanya tidak adil kalau diksi unggah tidak kita cantumkan sinonimnya barang sebiji? Salah satu sinonimya adalah pindah. Pun dengan sinonim paribasa unggah adat yaitu pindah cai pindah tampian yang bermakna adat atawa robahna tempat matuh, robah adat jeung kabiasaan. Lantas korelasinya dengan judul tulisan opini Kala Unggah itu apa? Disinilah saya mulai dibingungkan dengan paparan saya sendiri, termasuk Anda tentunya yang sudah merelakan waktunya untuk membaca tulisan saya ini. Maafkan!
BONGKAR
Apanya yang harus dibongkar? Toh jelas-jelas, saya pun sudah menuliskan kalimat ini; Dengan kita mengerti, maka apa pun keputusan yang kita pilih bersifat mutlak dari hasil jejak baca yang mana buahnya bisa subjektif pun bisa juga objektif. Namun satu hal yang harus diingat adalah; subjektif kata siapa dan objektif kata siapa? Tegasnya adalah benar kata siapa dan salah kata siapa? Ya, kini saya mengerti akhirnya, artinya; saya akan membongkar sendiri pikiran saya dengan tambahannya yaitu yang sudah dituliskan di atas, sebagai pondasinya. Let’s get it done!
Bagi saya makna kala unggah yaitu waktu pindah atawa waktu bergeser, atawa waktu bergerak yang tidak direncanakan dan bersifat mutlak atas seruan atawa titahNya. Sebagaimana dalam surah Al Isra ayat pertama (sila buka Al Quran dan ragam tafsirnya). Hikmah dari isra dan mi’raj terletak pada diksi barokah atawa kabarokahan. Ups, ada yang lupa; arti isra adalah perjalanan malam hari yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw dari ka’bah (Makkah) menuju Baitul Maqdis (Yerusalam/Madinah). Sementara mi’raj dimaknai dengan kenaikan, dimana Allah swt mengangkat Nabi Muhamad saw dari Baitul Maqdis melewati langit ketujuh menuju Sidratul Muntaha.
Singkatnya ada dua diksi yang penting yaitu diksi perjalanan dan diksi naik. Maka terdapatlah makna perjalanan naik. Dalam perjalanan isra mi’raj itu bahasanya isro atawa asro berdasar surah Al-Isra ayat pertama menyimpan makna perjalanan di waktu malam, yang mana kata tersebut menyimpan makna simbokik, berdasarkan pemaparan Tuan Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani, yang isinya Ikhrojul ‘abdi ‘an dzulmatil imkaan ilaa nuuril-wuujub dengan terjemahannya sebagai berikut: mengeluarkan / keluarnya hamba dari kegelapan menuju cahaya.
Demikian juga dalam diksi Isra pun mengandung makna perjalanannya dari Masjidil Harom ke Masjidil Aqsho, yang mana kata Tuan Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani; Masjidil Harom dan Masjidil Aqsho itu mempunyai makna simbolik. Masjidil Haram itu adalah Qolbu insanil-kaamil al-ladzii huwa baitullaahil a’dzom haqiqotan, yang artinya yaitu hati manusia yang sempurna itu yang mana itu hati-nya merupakan baitullah secara haqiqi. Musabab hati disebut baitullah haqiqi dikarenakan: idz hurrimat fihit-tawajjuh ilal-ghoir- was-siwa mutlaqon yang artinya: musababnya haram dalam hati kala menghadap ke selain Allah secara mutlak. Musabab itulah, hati itu disebut sebagai Masjidil Haram dalam tubuh manusia.
Sedangkan makna simboliknya Masjidil Aqsho itu kata Tuan Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani yaitu; isti’daadatul-madzohir, artinya: setiap laku dzohir yang mana setiap laku itulah bakal melahirkan berkah guna sekitarnya (kabarokahan pikeun lingkunganna), yang mana kata istilah Al-Isra ayat pertama itu terletak pada kalam al-ladzii baaroknaa haulahu, yang mana oleh Allah SWT diberkati sekitarnya. Intinya: kalau ingin laku lampah penuh oleh berkah (kabarokahan), kita wajib—harus benar-benar menjadi hamba sejak dimulai dari dalam batinnya; dari mulai niatnya, tujuannya, dan maksudnya. Kalau sudah benar batinnya menghamba, maka laku lampahna eta oleh Allah SWT diberkati (diberkahi) bukan hanya dirinya melainkan untuk sekitarnya juga.
Contoh mutlak di Indonesia, seperti kehidupan Guru Sekumpul, kita masih bisa melihat dari jejak haolnya. Demikian juga dengan jejak kehidupan Tuan Syeikh Abdul Qodir Al Jaelani sendiri, di seluruh pelosok negeri masih diadakan haolnya, seperti di Cilongok di pesantrennya abuya Uci Turtusi dan di tempat lainnya.
Jadi, kalau batinnya sudah menghamba, secara otomatis laku lampahna pun bakal sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh tuannya, yaitu Allah SWT. Artinya kalau bathin dan dzohir sudah jadi hamba, Allah SWT bakal ngami’rajkeun hamba tersebut ke derajat yang paling tinggi. Jadi secara intinya itu adalah; bathin itu masjid, dzohir pun masjid— tempat sujud. Jadi, kalau kita mau keluar dari kegelapan, kuncinya itu sing jadi Hamba Pangeran baik secara bathin pun dzohir.
REPETISI
Sebagaimana judul Kala Unggah yang mempunyai dua diksi penting: waktu dan naik. Maka terdapatlah makna waktu naik. Lantas apa atau adakah hubungannya dengan diksi barokah atawa kabarokahan? Jelas sudah atau pasti ada hubungannya di keduanya itu, di mana? Di diksi masjid (kembali buka ayat satu, surah Al-Isra). Ketika adzan berkumandang, maka makna perjalanan naik dan waktu naik ada di sana dengan buahnya barokah atawa kabarokahan. Mengapa? Kesunyataanya Allah SWT, tidak menuntut kita sempurna, yang terpenting patuh. Patuhnya di mana? Di awal waktu bukan di tepat waktu.
Musabab itulah Allah SWT memagarinya dengan surah Al-‘Asr. Barang siapa yang tidak lalai dalam waktu, maka perjalanan naik menjadi waktu naik. Maksudnya? Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun (tidaklah kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku). Satu diksi lagi di sini yang penting, yaitu ibadah. Kalau seorang hamba hubungannya dengan Allah SWT (habluminallah) terjaga dengan baik, maka hubungan dengan sesamanya (habluminannas) pun akan terjaga dengan baik. Sebaliknya kalau hubungan dengan sesamanya buruk maka bisa dipastikan hubungan dengan Allah SWT pun buruk.
Ah, tapi ada kok yang habluminannasnya baik meski shalatnya belang betong? Itu artinya orang tersebut tidak mengerti akan rumus hidup dan kehidupan, bukankah kita diciptakan untuk beribadah? Tapi kan habluminannas juga ibadah? Betul. Seperti yang kita lihat bahwa orang itu sedehknya rajin, zakat, infak, hadiah bahkan ringan tangan dalam membantu, tapi apakah kita tahu bahwa dia itu orangnya ikhlas? Sementara kita bisa ikhlas, kalau kita sudah mengerti betul pada makna kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi (ada 56 ayat ber-tag ‘segala sesuatu milik allah’), sudah menjadi laku di keseharian kita; milikNya bukan milikku.
Singkatnya, ketika sudah menjadi laku otomatis dari perjalanan naik menjadi waktu naik yaitu hidup dan kehidupan kita di bumi penuh barokah atawa kabarokahan yang mana kehadiran kita senantiasa dirindukan pun derajat kita ditinggikan. Bukankah manusia yang baik itu yang berguna bagi sesama? Musabab itulah kenapa Ua Ajengan Khoer Affandi senantiasa menekankan atau mewasiatkan pada segenap santrinya tong leumpang dina hayang, tong cicing dina embung, tapi kudu leumpang dina kudu, jeung kudu ereun dina ulah. Dari sinilah kita baru bisa memecahkan satu makna bedanya kala dan wanci. Artinya, kala itu mutlak yang berwaktu, tapi harus awal waktu, kecuali ketiduran dan di luar nalar.
Kalau wanci, itu keinginan manusia. Mengapa? Wanci sa reupna urang geus paheut janji pasini ati pacantel rasa, repuk jukung di bale nyungcung. Artinya pola pertemuannya sudah dirancang oleh pelaku, tapi solat, pola perjumpaanya bukan rancangan manusia. Maka diksi kala, mutlak untuk sabda atau titah Allah. Lantas, apakah kala bisa diterapkan di keseharian? Jelas sudah sunyatanya itulah yang ditekankan Ua Ajengan; tong leumpang dina hayang, tong cicing dina embung, tapi kudu leumpang dina kudu, jeung kudu ereun dina ulah. Tentu saja sangat bisa musabab runtuyan kalimat papagah itu artinya atawa mengandung makna sujud.
Bukan berarti menafikan qoda dan qodar-Nya, sebab titahNya pada manusia hanya satu, ikhtiar. Misalkan kita sudah kasaf, sepertihalnya yang dicontohkan oleh Rasul SAW, sudah tahu bahwa dalam Perang Uhud bakal kalah sebab sudah dikasih tahu oleh Jibril atas perintah Allah, tetapi Rasul SAW tetap berjuang, memang itulah titahNya seberapa keraskah kita bisa bertahan di jalan ikhtiar?
Atau dalam dakwahnya Abuya Uci yang terang-terangan tiga tahun sebebelum pilpres diselenggarakan sudah tahu siapa yang akan menjadi pemenangnya karena sudah mendapat petunjuk dariNya, tapi pada santri-santrinya menyuruh untuk tidak memilih yang akan menang. Mengapa? Karena gambaran kepemimpinannya sudah diketahui bakal menyengsarakan rakyat. Artinya? Allah menekankan datang padanya (shalat) di awal waktu, bukan berarti menafikan khusyuknya seorang hamba, sebab esensi yang akan kita dapat itu paska kita patuh. Sebagaimana reward dari owner kepada seorang pekerjanya selalu yang diprioritaskannya yaitu di awal waktu dalam mengerjakan semua tugasnya artinya sebelum deadline sudah beres atawa memenuhi target bahkan lebih dari target.
Pun demikian, ketika kita sudah berjanji pada seorang atau kelompok atau berjanji tentang program yang harus digolkan atau pertemuan rapat dengan sudah dijadwalkan jam hadirnya, eh malah datangnya lebih dari dua jam yang sudah diwaktukan. Maka jelas, kebarokahan menjauh, mengapa? Gerutu seorang yang menunggu sudah menjadi proposal doa yang tanpa disadari diapungkan secara otomatis padaNya. Ah, tapikan cuaca tidak mendukung. Kendaraan tidak ada harus jalan kaki. Di rumah ibu sedang sakit.
Apa pun ragam persoalannya bisa diantisipasi kalau laku kita dikeseharian sudah menjadi laku konsekuen. Sebagaimana peringatan mutlak dari surah Al Asr, sebagaimana penekanan Ua Ajengan tadi. Betul? Sekali lagi penekanan ini terlepas dari qada dan kodar- Nya. Toh yang kita bicarakan tentang seberapa yakinkah usaha kita dalam jalan ikhtiar? Artinya tidak bisa lepas dari makna iman.
NOICE
Kini soalnya adalah apakah kita akan ngindung ka waktu mi-bapak ka zaman atau mi-indung ka guru atawa keduanya perlu? Sebagai cerminan mutlak; Mbah Nun, tidak pernah menekankan kepada siapa pun termasuk maiyah untuk patuh pada apa yang dituliskannya atau pada apa yang diucapkannya baik dalam mimbar akbar. Mbah Nun hanya berbicara pada siapa pun yang siap mendengarkannya tanpa harus patuh. Mengapa demikian?
Toh esensi akan didapat oleh masing pribadinya yang mendengarkannya. Yaitu tadi: Dengan kita mengerti, maka apa pun keputusan yang kita pilih bersifat mutlak dari hasil jejak baca yang mana buahnya bisa subjektif pun bisa juga objektif. Namun satu hal yang harus diingat adalah; subjektif kata siapa dan objektif kata siapa? Tegasnya adalah benar kata siapa dan salah kata siapa? Hal ini pun tentu terlepas dari qoda-kodar-nya (berusaha melepaskan dulu) sebab pembahasan dari tadi dengan contoh mutlaknya perang uhud.
SIMPUL
Secara esensi, makna dari kala unggah yang saya dapatkan yaitu bagaimana kita siap menjadi kepongpong untuk menjadi kupu-kupu yang dirindukan orang dalam laku gerak dan geriknya sehingga menjadi kelompok maiyah yang saling mengisi dan mengingatkan, jauh dari makna menggurui. Sebagaimana quote (pesan moral) Mbah Nun: “Yang mendampingimu tidak harus menjadi yang terbaik bagi diri dan hatimu, tapi dirimulah yang harus menjadi terbaik bagi siapa pun yang mendampingimu”
Demikian Mas Sabrang dalam pesan moralnya berkata: “Sistem harus berjalan sendiri, tanpa harus bergntung pada sinten” jika kita telaah lebih jauh ke lubuk bahasa di sebalik makna pesan moralnya itu maka kita akan mendatkan makna khoirunnas afauhum linnas merupakan bacaan latin dari sebuah hadits Nabi Muhammad SAW. Ada pun arti yang terkandung dalam hadits tersebut ialah; sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bisa memberikan manfaat kepada manusia lainnya. Namun dalam redaksi terjemah aslinya: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad).
Kembali ke makna sinten, artinya terbuka atawa keterbukaan ruang dalam menerima siapa pun sudah sepatutnya menjadi bagian penting sebagaimana naturalisasi timnas kini. Dengan catatan harus dipagari sebagaimana Allah memagari waktu dengan surah Al Asr. Ups, ada yang lupa, tentu saja bakal terjadi pertanyaan seperti ini, ah kok tidak jelas mengapa dan musababnya apa harus menerima naturalisasi? Tentu saja kalau kita mi- indung ka guru: bukankah setiap yang kita lihat atau dipertemukan itu harus dihubungkan denga Allah? Artinya tidak sertamerta kita bisa diperlihatkan, dipertemukan, diperdengarkan kalau tidak ada hikmah di sebaiknya. [rwi]
*Tulisan ini saya buat dalam refleksi ambang 9 tahun LDM Maiyah Tasikmalaya.