Prosa: Lintang Ismaya | Ruangatas.com
Ada banyak hal di dunia ini yang menjadikan nun mati di antara dua idghom bilagunah, bertebaran di ruang-ruang mikro. Sebagaimana riwayat kita: meskipun engkau di depan mata, aku tidak akan pernah menyapa. Pun sebaliknya sama: ketika engkau melenggang bersamanya dan engkau melihatku di ruas jalan yang hendak kalian lewati. Demikianlah dunia diciptakan, guna pendewasaan diri. Manakala hakikat kita hidup di bumi, bukanlah pilihan, tetapi hidup begitu banyak menyuguhkan ragam pilihan, untuk kita lakoni.
Pada banyak alamat dan peristiwa. Di banyak ruang dan narasi. Hidup adalah merjan-merjan cyber war. Meski demikian, pengembaraan diri harus terus berlanjut ke banyak ruang dan peristiwa, guna menemu siapakah sebenarnya kesunyataan kita. Sebelum sunyi mekar di liang kubur, dunia mengabur dan mengada di subjek nun mati di antara dua idghom bilagunah. Sebagaimana kau dan aku silang-seling saling berganti menjadi subjek dan objek. Ya, benar; sejatinya diri kita itu pemimpin bagi diri sendiri yang masih mencampur adukan antara hak dan bathil, sebagaimana kita pernah mengkaji QS. Al Baqarah ayat 42 (lihat), kau bilang ayat itu khusus untuk Bani Israil, sementara dalam Tafsir Tahlili segenap isi ayatnya dapat pula ditujukan kepada kaum muslim dari segala lapisan. Lupakan.
Dulu, aku ingin bisa mencintaimu di dua waktu; waktu bagian di dunia dan waktu bagian di akhirat. Sampai akhirnya aku hutang jutaan maaf pada diriku sendiri, karena selalu memaksakan menunggumu. Meski nyatanya seribu yang datang tidak mampu menggantikan satu yang hilang. Sejak saat itu aku sempat berpikir bahwa hobby semesta itu bercanda, mendatangkan mu secara tiba-tiba, laju menghilangkan mu tanpa aba-aba. Ya, ini memang bukan soal lomba yang harus ada waspada dalam aba. Meski demikian lah adanya, sunyatanya aku ingin melihatmu mencapai semua yang pernah engkau katakan padaku, meskipun aku tidak ada di sisi. Di sisi yang lain; di saat engkau berhenti berkabar dan aku tidak mencari mu disitulah bentuk aku menghargai mu.
Sketsa indah di masa lalu yang harus dilunasi pada diri dengan ribuan maaf, seperti pintu maaf yang terbuka lebar di bulan ramadhan; terjebak di antara aku harus mengerti engkau dan mereka, tapi bagaimana dengan perasaanku? Kenapa pula aku harus sembuh dari sesuatu yang bukan salahku? Seperti halnya menjalankan puasa sampai waktu maghrib tiba, tapi kenyataanya banyak sudah yang ngeluh. Namun kala giliran menunggu yang tak pasti, eh sampai durasi bertahun-tahun pun betah.
Benar. Dalam alur hidup dan kehidupan ini selalu saja ada campur tangan semesta yang selalu ada-ada saja dalam perihal gebrakan-nya, maka dari itulah janganlah terlupakan untuk menikmati sisa waktu dengan merayakan diri sendiri, mohon ampun seluas-luasnya pada laku diri dalam ribuan maaf untuk diri pribadi. Sebagian orang menganggap aneh, kala meminta maaf laku diri kepada diri. Hal itu seperti anehnya pandangan kita, kala menakar mayor orang yang menjalankan puasa ramadhan, tapi tak pernah menyentuh Al Qur’an untuk dibaca jabarkan sampai mengerti arah tujuan hidup. Bukankah tujuan puasa ramadhan itu ada untuk memperingati turunnya Al Qur’an?
Ya, dulu, aku ingin bisa mencintaimu di dua waktu; waktu bagian di dunia dan waktu bagian di akhirat. Sampai akhirnya aku hutang jutaan maaf pada diriku, karena selalu memaksakan menunggumu. Disadari tanpa disadari, dari puasa ramadhan aku belajar banyak hikmah; salah satunya di minggu penghujung ramadhan, banyak sudah orang yang mengapungkan narasi tentang sedihnya ditinggal ramadhan.
Namun mereka begitu sibuk menyiapkan perpisahan itu dengan ragam perayaan yang amat sangat meriah, sehingga titah ibadah dalam ramadhan, secara otomatis terabaikan. Bukankah puasa ramadhan mengajarkan kesederhanaan untuk lebih sederhana dari keseharian kita? Bukan berarti tak boleh sibuk dalam mempersiapkan perpisahan, sementara kesusahan tetangga masih sibuk dan berkutat di sana. Malah kita sibuk mengecat rumah, membuat kue pastel, ketupat, opor ayam, belanja baju baru dan seperangkat alat shalat bak mahar kawinan saja.
Ah, ngomong-ngomong tentang kawin, aku disuruh mudik olehmu yang telah mempersiapkan pengganti sebagai permohonan maaf dari luka hatiku yang tak bisa terobati. Haruskah aku mudik? Ya, siapa tahu cocok jadi istri sekaligus pelipur lara hati. Sebentar, ngomong-ngomong tentang mudik; apakah mudik itu? Pulang atau tidak? Berangkat atau diam? Ah terlalu rumit jika harus menembus ke sana sampai ke lubuk bahasa. Terang dan jelas itu pada akhirnya kita pasti mudik dalam waktu azali diri masing-masing. Ya, dulu; kelahiran kita disambut tawa, dan adakah kepulangan kita dihantarkan tangisan istimewa, seperti aku melepas kepergianmu dari sisi, dulu. Lupakan.
Apakah mudik itu? Pulang atau tidak? Berangkat atau diam? Pada akhirnya kita pasti mudik dalam waktu azali diri masing-masing. Sebaris nama tertulis di batu nisan. Tidur atau tidak, pada akhirnya sama saja; menikmati karma diri. Ya, pada akhirnya, kampung dan tanah air sejati hanyalah Allah. O, sebelum waktu itu tiba, bisakah kita mahabah pada-Nya? Ya Rabbi, mohon dengan sangat! (Li)