Oleh : Kang Warsa (Guru dan Pengamat Budaya asal Sukabumi)
Ajaran Konfusius atau Konghucu telah banyak dipraktikkan oleh masyarakat Tionghoa. Bahkan ajaran ini menjadi domain utama dalam tradisi mereka. Kendati demikian, Konfusius bukan satu-satunya tokoh yang telah menginspirasi masyarakat Tionghoa di berbagai belahan bumi, mereka juga mengadopsi pemikiran dan ajaran lainnya seperti Taoisme yang digagas oleh Lao Tzu. Secara keseluruhan, ajaran kedua tokoh ini menekankan kesederhanaan, kebajikan, keselarasan dengan alam, dan pro-tradisi.
Praktik ajaran Konfusius selain telah menginspirasi masyarakat Tionghoa, selama perjalanan waktu telah banyak dipraktikkan oleh bangsa lain mulai dari bidang ekonomi, sosial, politik, dan etika. Hal ini disebabkan oleh spektrum pemikiran dan ajaran filsuf yang hidup pada abad ke 6 SM ini sangat luas.
Konfusius atau Kongzi adalah sosok pro-tradisional, berbeda dengan kaum legalis yang menguasai politik saat itu, ajaran konfusius lebih mengedepankan bagaimana sistem pemerintahan dan politik dikendalikan oleh nilai-nilai kebaikan. Bagi Kongzi, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang diisi oleh para pelaku kebaikan dan menunjukkan kebaikan dalam praktik pemerintahannya. Pemerintahan tidak selalu beririsan dengan kekuasaan dan hukum legal formal yang kaku, nilai kebaikan yang berlaku pada sebuah bangsa dapat menjadi ukuran keberhasilan sebuah pemerintahan.
Ajaran ini sebenarnya dapat dipraktikkan oleh masyarakat modern dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengedepankan semangat pro-tradisional, sebuah negara dapat bertahan kokoh dan berdiri di atas landasan budaya bangsa secara mandiri. Akhir-akhir ini, negara-negara modern lebih banyak mengadopsi pandangan kaum legalis yang mengharuskan segala sesuatu dibuktikan keabsahannya melalui sejumlah peraturan, namun pada praktiknya, aturan-aturan yang diterbitkan sama sekali tidak pernah dipahami secara utuh, apalagi dipatuhi.
Pemerintah sudah semestinya mengalihkan cara pandang dan mengubah kembali haluan dengan menekankan betapa penting menjalankan pemerintahan yang pro-tradisi. Alasannya sederhana, tradisi sebagai akar budaya dan landasan peradaban bangsa memiliki pertalian organik dengan jati diri bangsa. Pertarungan dua kekuatan antara mereka para politisi yang pro-tradisi dengan kaum legalis terus berlanjut dari dulu hingga sekarang.
Fakta sejarah mengajarkan kepada kita, praktik pemerintahan yang pro-tradisi memang lebih sedikit daripada pemerintahan yang didirikan yang mengacu pada pandangan kaum legalis. Hal ini terjadi mengingat kaum legalis merupakan manusia-manusia yang lebih memusatkan perhatian dalam mempertahankan diri dan kelompoknya secara politik daripada mengambil cara-cara tradisional.
Beberapa tahun setelah Konfusius menekankan betapa penting kekuasaan didirikan oleh para pelaku kebaikan, Plato mengungkapkan hal yang sama, hanya dengan dijalankan oleh orang-orang bijaksana lah, sebuah negara akan berjalan dengan baik.Aristokrasi menjadi sistem terbaik dalam pandangan Plato karena pemerintahan seperti ini akan mampu melahirkan solusi dan jalan keluar secara bijak. Hanya saja, dalam praktiknya, pemerintahan dengan berbagai bentuk dan sistem yang digunakannya lebih banyak memilih apa yang telah dipraktikkan oleh kaum Fajia, kaum legalis yang semakin mengokohkan dirinya dalam bingkai demokrasi dan monarki.
Memilih bentuk dan sistem yang tidak selaras dengan alam, seperti ungkapan Lao Tzu dan Kongzi akan berdampak pada rusaknya tatanan sosial, budaya, ekonomi, dan peradaban. Sistem sosial yang dibangun oleh kaum legalis adalah sistem yang dikuasai sepenuhnya oleh para pemilik kapital, bukan lagi dikendalikan oleh para pemilik ilmu pengetahuan. Sistem sosial seperti ini tampak kokoh, namun secara substansi sangat rapuh dan keropos. Sistem sosial kaum legalis tidak akan pernah mengokohkan masyarakat dengan kekuatan spiritualis melainkan dengan kekuatan finansial. Betapa rapuh sebuah bangsa yang dibangun oleh sistem sosial seperti ini di saat menghadapi krisis.
Sistem sosial versi kaum legalis juga telah memojokkan masyarakat pada tindakan materialis dan hedonis. Bahkan lembaga suci keagamaan dan pendidikan juga tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman kekuatan kaum legalis. Lihatkan pendidikan yang tidak pro-tradisi, para guru yang seharusnya menyadari bahwa dirinya berada di wilayah “karesian” sudah tidak lagi mempraktikkan kesederhanaan dalam hidup. Mereka tumbuh dalam lingkungan hedonis, pamer kemewahan dengan alasan kebutuhan, serta hal lain yang “haram” dilakukan oleh para resi. Lembaga keagamaan juga demikian, kaum legalis telah menjebak mereka pada praktik legalitas. Bayangkan, para tokoh agama diharuskan membuat proposal pengajuan lengkap dengan RAB, mendirikan yayasan, membuat stempel, dan pada akhirnya membuat laporan pertanggungjawaban manipulatif. Kita harus mengakui, praktik ini memang telah berlangsung beberapa tahun setelah reformasi.
Di awal kelahirannya, legalisme menekankan satuan baku dan standar operasional terhadap setiap tindakan. Namun sepanjang perjalannya, legalisme telah membawa para penganutnya pada tindakan paling mengerikan dalam kehidupan: peperangan, konflik, dan pertikaian atas alasan pragmatis. Sangat berbeda dengan aliran pro-tradisi yang digagas oleh para filsuf seperti Kongzi, Lao Tzu, Plato, St. Agustinus, Al-Ghazali, dan ulama tradisional, aliran ini lebih memilih cara kompromi dalam menyelesaikan masalah namun selalu menghindari ketidakjujuran dalam hal apapun. Lepasnya ikatan pandangan pro-tradisi dalam kehidupan telah menjatuhkan kita pada sikap tidak baik, praktik ketidakjujuran kerap mewarnai kehidupan meskipun dilakukan secara laten dan dibalut oleh legalitas bertajuk kertas.
Budaya dan peradaban yang telah diformulasikan oleh para filsuf pro-tradisi menekankan betapa penting nilai kebaikan dipraktikkan. Sampai pra-kolonial, sistem sosial Nusantara masih kental membumikan ajaran pro-tradisi, kejujuran menjadi landasan utama di dalam kehidupan. Sistem pendidikan yang dibangun ditujukan untuk mencerdaskan masyarakat dan difokuskan pada pembenahan perilaku, bukan sekadar menjejalkan pengetahuan dan memadati kepala peserta didik dengan wawasan namun hampa dari praktik nyata. Saat ini kita sudah terbiasa hidup dengan kebohongan dalam berbagai bidang kehidupan, ini merupakan buah dari ketidakjujuran kita dalam mempraktikkan ajaran-ajaran para filsuf. Kita lebih rela mengadopsi ketidakjujuran dan manipulasi kaum legalis daripada mengikuti jejak para pecinta kebaikan.
Masyarakat legalis kontemporer kurang mengenal kebaikan, kejujuran, kesopanan, dan kedisiplinan. Legalisme hanya percaya bahwa potensi manusia cukup dibuktikan oleh secarik kertas sebagai legalitas keilmuan mulai dari sertifikat, ijazah, dan piagam. Dalam situasi ini, adab dan etika kepada orangtua serta cara menjalin persahabatan sama sekali sulit ditemui di lingkungan pragmatis. Adagium “tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, melainkan kepentingan semata” dilahirkan oleh cara pandang legalisme yang buruk.
Bangsa kita memang tidak sepenuhnya mempraktikkan ajaran legalisme yang kaku, kelompok pro-tradisi juga masih tetap berusaha membumikan ajaran-ajaran kebaikan. Mereka dicirikan oleh beberapa hal; pertama, menghindari praktik hedonis. Saat menjadi guru dan pendidik, kaum pro-tradisi lebih memandang bahwa mendidik masyarakat merupakan tugas mulia bukan sekadar menuntaskan kewajiban. Mereka akan menyadari dirinya berada di wilayah karesian, tidak akan terikat dengan kemewahan, tidak terlalu memperdulikan sebesar apa mereka menerima gaji dan tunjangan, apalagi larut dalam pikiran ingin selalu menerima uang lebih dari pemerintah.
Kedua, kaum pro-tradisi tidak terjebak dalam pragmatism sempit. Mereka tidak akan mendidik masyarakat lantas mengambil keuntungan lebih dari mereka. Dengan bercermin kepada para nabi, rasul, dan ulama yang telah sukarela mengajak masyarakat pada kebaikan tanpa menuai panen finansial dari masyarakat. Bahkan, akhir-akhir ini kita sering menyaksikan keyakinan dan agama dengan mudah dijadikan topeng untuk mengeruk kepentingan pribadi dan golongan. Satu sikap tidak termaafkan dalam tradisi kebaikan.
Imlek merupakan tahun baru Tionghoa, namun ajaran universal dua filsuf pro-tradisi: Kongzi dan Lao Tzu sudah waktunya dibumikan dalam kehidupan. Setidaknya, praktik pro-tradisi dapat memperlambat Bumi dan kehidupan sosial pada kerusakan. Dan, mempraktikkan serta membumikan kebaikan merupakan pesan penting Al-Quran, kitab yang diturunkan kepada Rasulullah, seorang nabi yang memperlihatkan sikap pro-tradisi di tengah hantaman kaum legalis Mekah.***