Kampanye Habit Membaca: Berbicara Isi daripada Sampul sebagai Kultur

Kampanye Habit Membaca: Berbicara Isi daripada Sampul sebagai Kultur/Dok. Ebihbaik

Ruangatas.com | Menjadi lokus hilirisasi literasi, Caspia menjadi lokus utama bagi orang-orang pembaca buku, di mana hasil dari proses membaca, menulis, dan berpikir kritis tidak berhenti pada tumpukan kertas atau konten digital saja, tetapi diteruskan dan dikembangkan menjadi praksis sosial yang nyata, relevan, dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Mereka berkumpul setelah menjalin kolaborasi bacaan di Instagram, sebuah ruang maya tempat benih-benih ide saling bertukar, tumbuh, dan memantul ke dalam diri. Pertemuan fisik itu lantas menjadi semacam muara, tempat isi kepala yang semula berantakan kembali saling bertaut, menyatu dalam pertemuan dan percakapan. Di sanalah gagasan-gagasan yang awalnya hanya diam di halaman buku mulai bernapas, bergerak, bahkan mendaur ulang arah hidup.

Bacaan Lainnya

Pertemuan di Caspia bukan sekadar kerumunan di antara kopi dan retorika bahasa. Yang dibicarakan bukanlah sampul buku, bukan pula nama-nama besar, melainkan isi yang menohok, ide yang mengguncang, dan kegelisahan yang dirawat bersama. Sebab yang hendak dibangun bukanlah agenda, tetapi tubuh sosial, sebagai komunal yang hidup, tumbuh, berkembang, dan saling menyadari eksistensinya.

Vudu Abdulrahman, sebagai salah satu suara yang menggetarkan kesunyian literasi di Tasikmalaya, menyadari betul kebuntuan itu, bahwa literasi seringkali terjebak dalam format seremonial. Semua menjadi ritual tahunan yang stagnan, berjalan karena kebiasaan, bukan karena kesadaran, semacam obrolan basa-basi yang tidak mengakar.

Maka dari itu, Caspia dan lokus-lokus lainnya dilahirkan dari kesadaran yang tidak dibentuk oleh struktur formal, melainkan dari hati ke hati, dari kegelisahan, dan keinginan tulus untuk menciptakan ekosistem yang lebih bernas. Supaya tumbuh menjadi habit, bukan sekadar simbol, akan tetapi mengutamakan kebermaknaan yang bertumpu pada isi.

Esensinya, lokus-lokus yang diciptakan merupakan sekolah dan kampus yang sebenarnya. Perihal legitimasi, bagi mereka tidak harus ditentukan oleh institusi, tapi tumbuh dari dalam diri setiap manusia yang terus membaca, berpikir, dan bertindak. Terutama bagi kaum pembaca, mereka percaya bahwa dunia bisa dibentuk oleh kata, dialog, ide yang dikonkretkan dalam aksi nyata.

Dan Caspia, di tengah kebisingan jalanan simpang lima dan stagnasi institusional saat ini. Lokus ini dipilih menjadi bagian dari suara sunyi, ia tidak lahir untuk membentuk dogma. Karena patron ini bukan ruang yang dirancang sebagai arena kompetisi, tetapi jalan panjang untuk memahami diri sendiri, sesama, dan dunia yang harus dipancaindrai.

Kampanye Habit Membaca: Berbicara Isi daripada Sampul sebagai Kultur/Dok. Ebihbaik

Dalam diskusi dan refleksi yang kerap dihidupkan di Caspia, Kamis (3/7/2025). Entah darimana awalnya, sebuah pertanyaan sederhana namun mendalam diajukan oleh Gege, empunya gerabah: “Apakah lebih baik menjadi orang bodoh ataukah orang pintar?” Pertanyaan ini memantik beragam gagasan yang menambahkan warna pada pertemuan ini.

Menurut Hilmi, seorang akademisi muda dari salah satu universitas di Tasikmalaya, memberikan jawaban yang penuh makna. Baginya, yang utama bukan hanya menjadi pintar atau bodoh secara akademik, melainkan “menjadi seorang terdidik dan tercerahkan”. Kesadaran diri dan pemahaman yang mendalam akan kehidupan menjadi bekal yang lebih berharga daripada sekadar kecerdasan intelektual.

Selain itu, Indra pun ikut menyimak dan mengamati serta menambahkan bahwa keberhasilan dan kualitas seseorang sangat tergantung pada usaha dan konteks masing-masing individu. “Setiap individu tergantung pada upaya dirinya masing-masing, dan konteks dimana dia berada,” ujarnya. Ini menegaskan bahwa kepintaran dan kebodohan bukan sesuatu yang statis, melainkan dinamis dan dipengaruhi oleh lingkungan seseorang.

Gagasan tersebut kemudian diperkuat dan diperluas oleh Naufal dan Irlan, dua pemuda ini turut menyambung diskusi. Ide-ide yang mereka sampaikan mencerminkan perbedaan pola pikir, disertai cara bicara dan retorika yang beraneka rupa. Tak terkecuali Bahtiar, yang memilih diam namun menyimak dengan ketajaman dan rasa ingin tahu yang mendalam.

Diskusi ini mempertegas nilai penting proses pembelajaran yang berkelanjutan, di mana menjadi pintar bukanlah tujuan akhir, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang berisi kesadaran. Sebuah refleksi yang pas bagi spirit Caspia sebagai lokus literasi yang tidak hanya menanamkan pengetahuan, tetapi juga membentuk insan yang lebih manusiawi dan bermakna.

Selain memfasilitasi, Caspia juga memberikan reward kepada para pembaca dengan mempersembahkan hidangan terbaik. Stimulus respons antara Caspia dengan para pembaca ini berlaku tiap hari Kamis, mulai pukul 16.00 s.d. 18.00 WIB.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *