Sudut Liyan Pendidikan Indonesia dari Seorang Guru Kindergarten di Jerman

Sudut Liyan Pendidikan Indonesia dari Seorang Guru Kindergarten di Jerman/Dok: VAR

Ruangatas.com | Tinggal di Jerman memang sudah jadi cita-cita saya sejak kecil. Karena dulu, ayah saya juga pernah hidup di Jerman selama lebih dari 10 tahun. Ia juga masih fasih berbahasa Jerman sampai sekarang. Waktu saya masih kecil, “Papa” kerap bercerita tentang pengalaman hidupnya di Jerman, itu yang memotivasi saya juga untuk bisa tinggal di Jerman.

Awalnya, saya mau belajar musik di sebuah universitas musik ternama di Jerman. Namun setelah saya memberikan les gitar kepada anak-anak kecil sebagai kerja part time, saya jadi suka bekerja sama dengan mereka. Karena itu, saya memutuskan untuk bekerja di Kindergarten.

Bacaan Lainnya

Sekilas Pandang Polemik PMM

Setiap kali saya unggah konten yang isinya tentang sistem pendidikan di Jerman, pasti hampir semua yang komentar adalah keluhan-keluhan mereka tentang beban administrasi yang harus dikerjakan di Platform Merdeka Mengajar (PMM).

Saya memang tidak tahu banyak tentang PMM ini, tapi sepertinya, tujuan PMM ini awalnya untuk membantu guru untuk mendapatkan referensi, inspirasi, dan pemahaman tentang Kurikulum Merdeka dalam satu platform.

Saya juga mendengar, bahwa guru mendapatkan kesempatan untuk saling berbagi praktik baik atau karya-karyanya selama mengajar dalam bentuk rencana pembelajaran. Memang pada dasarnya, ide dari pemikiran sistem seperti ini tujuannya tentu positif.

Banyak hal yang menjadi kritik juga adalah kurikulum merdeka ini baru berjalan dan butuh waktu untuk dipelajari. Sebenarnya sangat manusiawi apabila kita pada awalnya skeptis dengan hal-hal yang baru. Kerena itu, manusia merupakan makhluk kebiasaan. Adanya PMM mungkin juga tidak sepenuhnya membantu, terutama untuk para guru yang berada di berbagai pelosok Indonesia. Terlebih lagi, sama halnya dengan murid, guru memiliki kecepatan belajar dan pemahamannya masing-masing. Jadi, ketimpangan penerapan kurikulum merdeka tentu bisa saja terjadi. Mempelajari dan menerapkan hal yang baru itu tentu tidak mudah dan tidak bisa cepat. Apalagi Indonesia itu sangat luas dengan beragam kultur, budaya, ditambah dengan perbedaan golongan sosial yang sangat ekstrem.

Konsep Kurikulum Merdeka yang sebenarnya bertujuan untuk memberdayakan murid dan guru, tapi karena banyak hal yang harus dipelajari oleh mereka, dampaknya guru jadi kehilangan waktu untuk bersama murid. Padahal, itu lebih utama dilakukan oleh guru. Sehingga tanpa sadar banyak waktu guru habis untuk mempelajari konsep baru dan hal-hal teknis lainnya. Mereka belum punya banyak kesempatan untuk mempraktikkan dan merasakan sendiri dengan apa yang sudah dipelajari.
Keluhan paling sering saya baca di komentar-komentar konten saya adalah bahwa para guru mengeluh saat mereka memiliki kewajiban untuk mengisi pelaporan kinerja mereka, khususnya untuk guru yang statusnya sudah jadi ASN atau pegawai negeri.

Pola Pikir Pengumpul Sertifikat

Terkait guru yang mengejar sertifikat, memang sangat disayangkan kalau tujuan mengikuti berbagai seminar, webinar, atau pelatihan hanya untuk mengejar sertifikat saja. Karena banyaknya sertifikat, tidak bisa menggambarkan seberapa berkualitas atau kompetennya seorang guru.

Tapi memang begitu, seperti yang kita tahu juga bahwa gaji guru di Indonesia masih sangat minim. Karena ini juga salah satu video saya di Instagram langsung viral setelah saya memberikan informasi bahwa gaji saya sebagai Guru TK di Jerman sebesar 60 juta per bulan. Jadi mungkin dengan mereka mengumpulkan sertifikat guru ini, agar bisa mendapatkan uang tambahan.

Nah balik lagi, sebagai guru, harusnya kita perlu kembali menyadari bahwa tugas utama kita itu mendidik anak-anak di ruang kelas. Di sisi lain, mereka juga harus paham konsep “Merdeka Belajar” itu. Inilah dilema para guru saat ini di Indonesia.

Paling penting sebenarnya, untuk menjadi guru yang berkualitas, mereka harus perlu mencari tahu dulu, “Apa sih yang masih perlu diperbaiki untuk meningkatkan kompetensinya?“. Supaya nantinya pembelajaran murid bisa jadi lebih berkualitas. Berikutnya juga mencari cara di mana atau bagaimana guru akan belajar meningkatkan kompetensinya. Cara yang paling mudah, yakni dengan merefleksikan diri.

Iklim di kelas juga sangat menentukan kualitas mengajar kita. Guru dan rekan sejawat harus selalu tukar pikiran, berbagi ide, mendiskusikan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan konteks ruang kelas. Selain itu juga memikirkan anak didik yang bisa memberikan umpan balik tentang cara mengajar satu sama lain. Ini sangat penting, karena kalau di dalam satu tim tidak berfungsi, mau punya sertifikat 100 lembar di rumah pun kualitas pembelajaran di kelas pasti akan sangat tidak optimal.

Ekosistem Pendidikan Indonesia Krisis Pembiasaan Literasi

Pertama, sistem pendidikan Indonesia dan Jerman pasti berbeda. Setiap sistem pasti ada pro dan kontranya, mau di mana pun negaranya. Kalau membahas sistem pendidikan Indonesia, pastinya masih banyak sistem yang harus diperbaiki. Itu juga hanya boleh dinilai berdasarkan sudut pandang pendidikan di Indonesia juga.

Kebiasaan membaca buku memang harus dibiasakan sejak usia dini. Walaupun mereka belum bisa membaca, tapi mereka sudah bisa dikenalkan dengan dunia buku atau lewat storytelling. Lucunya, yang saya tahu tentang Kurikulum Merdeka ini, adalah fokus pada materi yang esensial, relevan, dan mendalam. Kurikulum Merdeka terutama di pendidikan dasar memfokuskan pembelajaran pada literasi dan pembentukan karakter, tapi kalau gurunya sendiri tidak suka membaca atau tidak tertarik pada literasi, bagaimana bisa menjadi contoh yang baik ke anak?

Solusi paling mungkin sebelum menerapkan Kurikulum Merdeka ini kepada anak, guru perlu berusaha untuk memperbaiki kemampuan literasinya dan harus bisa teaching at the right level, atau mengajar pada level yang sesuai dengan anak. Jadi, guru perlu mempertimbangkan kemampuan dasar setiap siswa untuk merancang pembelajaran.

Saya masih ingat saat SD, kita sebagai siswa diwajibkan untuk memahami mata pelajaran yang banyak dan memaksa kita harus bisa semua. Padahal, kita ini makhluk individu, yang artinya kita memiliki potensinya masing-masing, ada yang memiliki skill di bahasa, ada di bidang musik, ada di bidang matematik dll. Coba lihat dunia nyata di dalam profesi kita, setiap kantor memiliki cabang atau daerah masing-masing, ada yang bekerja sebagai marketing, ada yang di akutansi atau pembukuan, ada yang jadi public relation. Kita semua memiliki tugas masing-masing sesuai dengan skill atau potensi kita, tapi sistem sekolah kita diharuskan untuk bisa dan mampu di segala bidang. Jadi menurut saya, sistemnya yang salah, bukan sumber dayanya.

Selama guru menuntut anak agar memiliki minat baca, tapi guru sendiri rasanya juga tidak punya minat baca yang tinggi, bisa jadi itulah yang harus direfleksikan oleh setiap guru.

Anak itu ‘kan peniru ulung, “Bagaimana kita mengharapkan anak mau memiliki minat baca dan kemampuan literasi yang tinggi jika yang mengajarkan tidak memiliki hal yang sama?”. Selama ini, kita terbiasa tumbuh dalam pendidikan yang memang belum menilai pentingnya meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi selain karena tuntutan. Yang penting semua materi sudah diajarkan. Namun, kita mungkin lupa bahwa kita sendiri saja kalau diajar dengan metode yang kita ajarkan kepada anak saat ini bisa jadi kita sendiri akan bosan dan tidak mendapatkan banyak hal yang bisa dipelajari.

Jadi, sebaiknya kita berefleksi. Kalau kita ingin anak punya kompetensi literasi dan numerasi, “Apa yang sudah saya lakukan untuk membantu mereka mencapai kompetensinya?” Bukan hanya berpikir murid itu tidak suka membaca, murid ini malas berhitung, murid itu tidak suka belajar. Yakinlah pada dasarnya, anak-anak itu selalu punya keingintahuan dan keinginan belajar yang tinggi, hanya saja bagaimana cara kita memantik itu semua yang akan menjadi pembeda?

Misalnya, kita ingin anak punya minat baca yang tinggi, mari kita coba untuk adakan hari atau waktu khusus untuk membaca. Semua guru dan murid membaca bersama-sama dan dilanjutkan dengan proses diskusi. Masing-masing guru dan murid menceritakan apa yang dibacanya, apa yang paling mereka sukai terhadap bacaan itu, apa yang tidak mereka sukai, apa yang bikin mereka penasaran. Tumbuhkan keingintahuan dan kemauan belajar dengan melibatkan anak dalam setiap proses belajarnya. Sehingga, anak tidak hanya menjadi objek dalam pembelajaran, tapi mereka adalah aktor utama dalam proses pembelajaran.

Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli dalam bidang pendidikan Pasi Shalberg dalam jurnal berjudul “Will Pandemic Change School?” tahun 2020, bahwa untuk menjadi kompeten, peserta didik perlu memiliki kesempatan untuk belajar mengatur dirinya dalam proses belajar.

Ganti Menteri Kurikulum Baru

Pertama, saya mau menunjukkan simpati saya pada rekan-rekan guru di Indonesia yang harus melalui banyak tantangan sebagai garda terdepan pendidikan. Bisa dibayangkan kebingungan dan frustasinya para guru saat menjalankan pendidikan yang harus berganti-ganti kurikulum dan harus belajar dari awal. Ketika sudah mulai paham, malah harus ganti lagi.

Untuk kasus di Indonesia, barangkali perlu dilakukan semua pihak adalah refleksi terhadap kurikulum sebelumnya. Apa yang sudah baik, apa yang masih jadi tantangan, apa yang perlu diperbaiki dan dilanjutkan di masa kepemimpinan menteri yang baru. Sehingga tidak serta-merta berubah drastis karena tentu akan berimbas langsung pada guru-guru dan murid sebagai aktor-aktor utama pelaku pendidikan.

Balik lagi ke pembahasan saya sebelumnya, bahwa untuk mempelajari dan mengimplementasikan sesuatu yang baru itu butuh waktu. Kalau dalam durasi yang pendek-pendek sudah berganti tentu tidak akan pernah mencapai hasil yang maksimal.

Pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan kesiapan murid, guru, dan sekolah jika kelak tiba-tiba ada kurikulum yang baru. Yang baik pada kurikulum ini, misalnya pendidikan yang sudah mulai fokus pada pelajaran-pelajaran yang esensial dan dibahas secara mendalam dengan mempertimbangkan kompetensi dan keberagaman murid. Bagian yang baik perlu diteruskan dan tidak langsung diganti begitu saja.

Kurikulum Pendidikan di Jerman, Apakah Gonta-Ganti?

Wah, kalau soal sistem pendidikan di Jerman jangan ditanya. Jerman terkenal dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Di sini, sekolah dan pendidikan gratis dari tingkat Kindergarten sampai perkuliahan, makanya banyak orang Indonesia juga yang kuliah di Jerman, karena memang pendidikan di sini itu gratis! Dan karena di sini tidak ada kurikulum, adanya undang-undang pendidikan anak, yang jadi orientasi cara bekerja guru untuk mendidik anak. Hal tersebut mengacu pada hak-hak anak (UNICEF), jadi tidak ada yang namanya pergantian kurikulum seperti di Indonesia.

Ihwal Asesmen Nasional

Mungkin kita bisa kembali melihat tujuan penyelenggaraan asesmen nasional di Indonesia. Berdasarkan bacaan saya tentang asesmen nasional itu tujuan utamanya untuk mendorong perbaikan mutu pembelajaran dan hasil belajar peserta didik.

Dan kalau yang saya baca, ternyata asesmen ini juga untuk memberikan gambaran mengenai pengutamaan tujuan satuan pendidikan dalam mengembangkan kompetensi dan karakter murid.
Jadi sebenarnya, asesmen ini untuk memperbaiki kualitas belajar mengajarnya, bukan menilai apalagi memberi peringkat terhadap kompetensi murid seperti dulu. Apalagi penilaian tidak seperti zaman dulu yang setiap mata pelajaran ada ujiannya. Namun ini fokus pada literasi dan numerasi dan karakter murid. Terlebih lagi, asesmen ini dan itu tidak hanya dikerjakan oleh murid, tapi juga guru dan kepala sekolahnya.

Kalau hasil asesmennya belum maksimal, berarti sekolah dan guru perlu mencari cara yang efektif untuk membantu anak mencapai kompetensinya. Akan tetapi memang penerapan asesmen nasional berbasis teknologi ini bisa jadi nggak fair untuk para murid, guru, dan sekolah yang letaknya di pelosok desa. Yang untuk mengakses sinyal saja harus bersusah payah naik pohon atau bahkan menempuh perjalanan berjam-jam untuk ke kota. Hasilnya bisa jadi bias karena tidak menggambarkan keadaan murid, guru, dan sekolah yang sebenarnya dalam sehari-hari.

Karena wilayah Indonesia ini sangat luas, penting untuk mempertimbangkan sudut pandang para murid dan guru yang berada di daerah terpencil. Agar bisa mengusahakan asesmen yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi mereka.

Asesmen di Jerman

Di Jerman, anak baru mendapatkan sistem penilaian seperti rapor itu baru mulai dari kelas 3 SD. Yang sebelumnya tidak ada sistem nilai tersebut. Jadi menurut pandangan pribadi saya, kalaupun pemerintah mau mengadakan sistem asesmen kepada anak, mereka diperbolehkan untuk memilih mata pelajaran apa yang mereka inginkan, dan pastinya mereka akan memilih mata pelajaran yang mereka pahami, serta punya potensi besar untuk mengerjakan test tersebut dengan sukses. Karena yang saya bilang tadi, setiap anak punya potensi dan kelebihan masing-masing, Kindergaten di Jerman, kita bekerja dengan kelebihan dan potensi yang anak miliki, bukan dengan kekurangan mereka, karena hasilnya akan sangat lebih efektif untuk perkembangan mereka.

***

Wawancara ini berlangsung pada bulan Februari 2024. Diskusi ini mengetengahkan sudut pemikiran Vicky Nastasya- seorang guru Kindergarten di Jerman – bersama Vudu Abdul Rahman. Adapun topik diskusi mendedah tema “Patron Pengasuhan Anak ala Kindergarten Jerman: Merespons Pendidikan Dasar di Indonesia”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *