Tasikmalaya – Ruangatas.com | Sebanyak 5.211 botol minuman keras (miras) dan 352 knalpot brong dimusnahkan Polres Tasikmalaya Kota dalam kegiatan terbuka yang digelar di depan Pos Polisi Taman Kota, Jumat (13/6/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari Kegiatan Rutin yang Ditingkatkan (KRYD) sebagai bentuk respons terhadap keresahan masyarakat.
Kapolres Tasikmalaya Kota AKBP Moh Faruk Rozi, S.H., S.I.K., M.Si. mengatakan bahwa miras dan knalpot tidak standar merupakan dua sumber gangguan ketertiban yang paling banyak dikeluhkan warga.
“Kami berkomitmen menjaga keamanan wilayah. Kegiatan ini akan terus dilakukan secara berkelanjutan,” ujarnya.
Kegiatan pemusnahan ini merupakan yang ketiga sepanjang tahun 2025, setelah sebelumnya digelar pada 27 Februari dan 30 Maret. Hadir dalam kegiatan tersebut unsur Forkopimda, tokoh masyarakat, dan Wali Kota Tasikmalaya Viman Alfarizi Ramadhan, yang menyatakan dukungannya terhadap langkah kepolisian.
“Kami ingin Tasikmalaya tetap menjadi Kota Santri yang aman dan bersih dari miras. Pemkot akan membentuk Satgas Anti Minol dan memperkuat pelaporan warga hingga ke tingkat RT/RW,” kata Wali Kota.
Namun, kegiatan tersebut mendapat sorotan dari kalangan masyarakat sipil. Asmansyah Timutiah, Praktisi Sosial Budaya, mengkritisi pemusnahan miras yang dilakukan di ruang terbuka dan dekat dengan Masjid Agung Tasikmalaya.
“Terpikirkan tidak sih, itu arak yang haram itu najis, ketika dimusnahkan dekat Masjid Agung baunya menyengat hingga ke area dalam Masjid Agung. Terus kalau ada tumpahannya atau cipratannya terbawa sendal atau sepatu ke area masjid, bagaimana?” ucap Asmansyah.
Ia mempertanyakan alasan pemilihan lokasi pemusnahan yang menurutnya lebih mementingkan eksposur ketimbang menjaga etika dan kesucian tempat ibadah.
“Kenapa tidak di Mapolres saja pemusnahan itu? Gimana kalau yang dimusnahkan ganja, misalnya? Kalau hanya karena ingin ekspos ke masyarakat lalu dibakar depan Masjid Agung, bagaimana asapnya ikut terhirup oleh orang-orang di sekitar?”
Tak hanya soal lokasi, Asmansyah juga menyoal efektivitas penindakan miras yang hanya menyasar pada razia dan belum menyentuh akar persoalan.
“Barangkali niatnya ingin ekspos keberhasilan razia miras, tapi betapa memalukan kalau hanya bisa gerebek tanpa bisa cegah masuknya miras ke kota ini. Apakah potensi datangnya miras tidak terdeteksi oleh kepolisian?”
“Itu yang dimusnahkan berapa persen dari yang beredar? Jangan-jangan jumlah miras yang beredar lebih besar. Coba, ada datanya enggak?” tegasnya.
Pernyataan tersebut menjadi refleksi bahwa penegakan hukum tidak hanya soal penindakan, tetapi juga menyangkut lokasi, etika, transparansi, dan pencegahan. Kota Tasikmalaya sebagai Kota Santri dituntut untuk tetap menjaga identitas religiusnya seiring dengan upaya menjaga ketertiban umum.***