Ruangatas.com | Di tengah riuhnya geliat pembangunan Kota Tasikmalaya, masih tersisa jejak-jejak peradaban kuno yang pelan-pelan nyaris terlupakan. Salah satunya adalah Situs Lingga Yoni Indihiang, sebuah peninggalan sakral dari masa Hindu-Buddha yang dipercaya berdiri sejak abad ke-7 Masehi.
Terletak di jalan Letnan Harun, Sukamaju Kidul, Indihiang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, situs ini menyimpan simbol keseimbangan semesta melalui dua elemen utamanya: Lingga dan Yoni. Keduanya bukan sekadar batu, melainkan lambang harmoni energi maskulin dan feminin yang menjadi pusat pemujaan serta perenungan spiritual masyarakat Sunda kuno.
Hasil ekskavasi arkeologi beberapa tahun silam mengungkap struktur bangunan suci berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 7 x 7,3 meter. Fondasi batu yang tertata rapi dalam tiga lapisan, serta susunan batu bulat di sekitarnya, mengindikasikan keberadaan sebuah bangunan beratap yang dulu menjadi ruang sakral bagi prosesi ritual. Sisa-sisa tangga yang menghadap ke barat memperkuat dugaan bahwa situs ini dirancang menghadap arah tertentu, mengikuti tata ruang sakral yang diyakini masyarakat pada zamannya.
Namun, keberadaan situs bersejarah ini kini berada di persimpangan. Aktivitas penggalian pasir di kawasan Bukit Kabuyutan terus merangsek, mengikis tanah di sekitar situs dan mengancam stabilitasnya. Bukit yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan budaya, perlahan berubah menjadi ladang eksploitasi material.
Situs Lingga Yoni sejatinya memiliki potensi besar sebagai ruang edukasi sejarah dan budaya Tasikmalaya. Di tempat ini, generasi muda bisa belajar langsung tentang akar peradaban yang membentuk identitas mereka. Selain itu, nilai estetik dan filosofis yang terkandung di dalamnya memiliki daya tarik kuat untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya yang bernilai tinggi.
Sayangnya, hingga kini, kesadaran akan pentingnya pelestarian Situs Lingga Yoni masih terhambat oleh minimnya perhatian konkret dari berbagai pihak. Situs ini seolah berjalan sendiri di tengah derasnya arus pembangunan modern, yang lebih sering menempatkan peninggalan budaya sebagai latar belakang, bukan sebagai pusat perhatian.
Jika tidak ada upaya serius untuk menyelamatkan dan mengelola Situs Lingga Yoni secara bijak, bukan tidak mungkin warisan berharga ini hanya akan tinggal nama. Sebuah jejak peradaban yang hilang, terkubur di bawah tumpukan pasir hasil eksploitasi jangka pendek.
Situs Lingga Yoni bukan sekadar soal masa lalu. Ia adalah cermin yang mengingatkan bahwa sejarah bukan untuk dikenang sesaat, melainkan untuk dirawat dan diteruskan sebagai pondasi masa depan. (Red)***
 
									 
											




