Menemukan Makna Gaya Belajar Anak-Anak di Rumah

Kekuatan pola pikir dan karakter akan terlihat pada saat kita berhadapan dengan situasi darurat dan genting. Ketika masyarakat sulit mendisiplinkan diri supaya selamat dari berbagai macam marabahayadi dunia dan akhiratadalah bentuk-bentuk nyata lemah dan tidak matangnya pola pikir yang berakibat melemahnya karakter. Dipastikan, itu akibat kekeliruan pengalaman belajar selama ini. Kepanikan dan menyerbu, serta memborong barang-barang sebagai akibat ketakutan menghadapi situasi darurat merupakan salah satu bentuk kegagalan kemampuan literasi dan numerasi. Dan ketika itu, dilakukan oleh orang-orang terdidik, makin meyakinkan kita bahwa dunia pendidikan gagal menguatkan karakter manusia.

Demikian halnya, ketika dunia pendidikan juga dilanda kepanikan dan kewalahan memilih cara belajar di rumah pada saat wabah melanda negeri. Hal ini juga akibat lemahnya kemampuan literasi dan numerasi para penyelenggara pendidikan. Sangat logis jika belakangan ini pemerintah sangat keras menyuarakan keutamaan kemampuan literasi dan numerasi dalam pendidikan sejak usia dini sebagai fondasi untuk penguatan pola pikir dan karakter.

Bacaan Lainnya

Belajar Matematika Bermain Pesawat
Tiga orang kakak beradik anak usia kelas I, III, dan VII asyik bermain pesawat yang terbuat dari kertas di teras rumahnya. Sederhana, namun sarat makna. Salah satu anak berdiri kira-kira 2 meter dari kedua saudaranya. Sang kakak tertua memegang lingkaran terbuat dari rotan berdiameter sekitar 50 cm, sepertinya bekas perabotan. Anak yang lain melemparkan pesawat kertas. Mereka melemparkan berkali-kali, kadang-kadang pesawat itu pas masuk melewati lingkaran, lalu semua mereka tepuk tangan. Mereka sangat gembira.

Demikian seterusnya, mereka melakukan berkali-kali dan bergantian, sambil menghitung siapa yang paling sering berhasil. Setelah berkali-kali lemparan mereka berhasil, lalu mereka berembuk dan memperpanjang jarak antara pelempar pesawat dengan posisi lingkaran rotan, sambil menyerukan, “Sekarang kita ke level II”. Mereka menaikkan tingkat kesulitan dengan cara menambah jarak pelemparan, tentunya risiko gagal makin tinggi. Begitu berhasil, mereka terus menaikkan tingkat kesulitan pada level selanjutnya.

Mereka belajar secara nyata bagaimana memperhitungkan segala risiko yang mereka hadapi. Pada saat mereka merasakan kesuksesan, maka rasa percaya diri mereka makin meningkat. Dan sejalan dengan itu, mereka terus menaikkan risiko atau tantangan tanpa merasa terbebani. Ketika gagal, mereka tetap tertawa sambil berusaha untuk melatih diri dalam meningkatkan kemampuan. Mereka melakukan permainan berulang-ulang, tertawa bersama, kadang-kadang sambil bernyanyi, berlari, melompat, dan berkolaborasi secara harmoni. Lebih dari itu, semua kelengkapan dan strategi permainan mereka rancang dan temukan sendiri. Mereka merancang, membuat, mengatur strategi, memperhitungkan, membaca situasi, menemukan makna dari sejumlah pelajaran. Mereka bermain sambil meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi yang sesungguhnya.

Dinilai Tidak Disiplin
Ketika belajar di rumah, anak dinilai tidak disiplin atau membolos ketika mereka tidak melakukan check-in melalui gadget mereka setiap pagi pukul 07.30. Apalagi bila mereka tidak mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh guru tiap mata pelajaran selama jam belajar yang telah ditetapkan, sebagaimana jadwal sekolah biasa. Sekalipun sejak sehabis salat subuh dia melakukan hal-hal yang baik, seperti merapikan kamar dan tempat tidurnya sendiri, membantu ibunya menyiapkan sarapan keluarga, ikut memilih jenis sarapan yang bergizi agar daya tahan tubuh meningkat untuk menangkal wabah virus yang tengah melanda. Setelah sarapan, tepat pukul 07.30, si anak membantu ibunya di dapur untuk memilih beberapa siung bawang merah, bawang putih, beberapa tangkai daun serai daun salam, menakar santan sesuai dengan kebutuhan, tidak lebih dan tidak kurang. Dia melakukan itu semua sesuai prosedur agar masakan matang, enak, dan kandungan gizinya tidak terbuang. Termasuk, dia memperhatikan dengan penuh khidmat sang Ibu saat menjaga kestabilan suhu dengan menjaga nyala api kompor yang tidak terlalu besar.

Sepagi itu, dia telah belajar menerapkan kompetensi berbagai mata pelajaran yang dituntut oleh kurikulum, seperti: “Menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan lambang bilangan, urutan, membandingkan, penjumlahan, dan pengurangan; Melakukan pengukuran panjang dan berat dalam satuan tidak baku dengan menggunakan benda/situasi konkret; Membandingkan dan gengurutkan benda/kejadian/ keadaan berdasarkan panjang, berat, lamanya waktu, dan suhu menggunakan benda/situasi konkret” (Matematika). “Menyampaikan penjelasan dengan kosakata bahasa Indonesia dan dibantu dengan bahasa daerah mengenai peristiwa siang dan malam dalam teks tulis dan gambar; Mempraktikkan ungkapan terima kasih, permintaan maaf, tolong, dan pemberian pujian, dengan menggunakan bahasa yang santun kepada orang lain secara lisan dan tulis” (Bahasa Indonesia). “Menerapkan dan menceritakan kegiatan sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah; Menerapkan dan menceritakan pengalaman kerja sama dan kebersamaan dalam keberagaman kehidupan individu di rumah” (PPKn).

Pada siang hari menjelang sore, dia mengambil dan memotong kardus bekas dengan pola yang tidak beraturan. Dia juga memotong kertas warna-warni yang membentuk berbagai jenis bangun datar (persegi panjang, segi tiga, lingkaran, dan bujur sangkar). Lalu, dia memilih bangun datar yang sesuai dan menatanya di atas potongan kardus yang tidak beraturan. Dia berlatih menerapkan pengukuran, menghitung luas, dan menempatkan potongan kertas tersebut sesuai pola yang ada. Si anak sedang menerapkan: “Menyusun bangun-bangun datar untuk membentuk pola pengubinan” (Matematika); Mengenal dan membuat karya ekspresi dua dan tiga dimensi (Seni Budaya); Menggunakan kosakata bahasa Indonesia dengan ejaan yang tepat dan dibantu dengan bahasa daerah mengenai berbagai jenis benda di lingkungan sekitar dalam teks tulis sederhana (Bahasa Indonesia). Semua itu dilakukan bersama-sama antara anak, ibu ayah, dan kakak-kakaknya, mumpung semua anggota keluarga berada di rumah. Mereka senang dan bahagia.

Sang kakak dan ayah mendiskusikan tentang berita meluasnya wabah virus corona di negeri ini. Mereka asyik mencari pemodelan matematika tentang penyebaran dan upaya pencegahan meluasnya infeksi virus. Pertama membuka peta daerahnya, lalu dilingkari kantung-kantung daerah berisiko tinggi, lalu dilingkari juga kantung-kantung daerah aman. Melalui konsep himpunan, diagram ven, dia mulai menganalisis bagaimana kemungkinan terbesar orang tertular. Mereka membuat model himpunan yang beririsan, di mana tempat-tempat yang memungkinkan orang yang terinfeksi bertemu (beririsan) dengan orang yang sehat. Pertama dan paling banyak adalah tempat-tempat perbelanjaan seperti pasar, super market, rumah sakit, sekolah, dan tempat kerumunan lainnya. Kalau begitu, bagaimana cara mencegahnya? Mereka merancang pemodelan melalui himpunan lepas, hasilnya, kita harus menjaga jarak sehingga irisan tidak terjadi. Ada berbagai strategi, pertama mengatur waktu kapan biasanya orang berkumpul paling banyak. Jika tidak bisa dihindari, bagaimana cara paling aman? Misalnya, cuci tangan, tidak bersentuhan langsung, pakai masker dan sebagainya.

Selama itu, mereka menerapkan bagaimana cara mengorganisasikan dan menyajikan data yang berkaitan, membandingkan satu data dengan data yang lainnya. Untuk memudahkan, mereka menggunakan data dalam bentuk daftar, tabel, diagram gambar (piktogram), diagram batang, atau diagram garis. Di samping itu, dia juga mengasah kompetensi dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan modus, median, dan mean dari data tunggal dalam penyelesaian masalah. Terakhir, si anak menemukan berbagai alternatif penyelesaian “Masalah kontekstual yang berkaitan dengan himpunan, himpunan bagian, himpunan semesta, himpunan kosong, komplemen himpunan dan operasi biner pada himpunan, dan perangkat lainnya”, sebagaimana yang tertulis dalam kurikulum matematika.

Dalam aktivitas tersebut, dia juga menggunakan kompetensi lain dari berbagai mata pelajaran. Misalnya, “Menyajikan hasil pengamatan terhadap interaksi makhluk hidup dengan lingkungan sekitarnya; Menyajikan hasil pengklasifikasian makhluk hidup dan benda di lingkungan sekitar berdasarkan karakteristik yang diamati (IPA). Menuliskan laporan dengan bahasa yang komunikatif (Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris). Penggunaan peta, konsep skala, jarak, waktu, koordinat (IPS/Geografi). Membuat poster dan pemodelan dengan menggunakan animasi sederhana (Seni Budaya, TIK, serta Prakarya).”

Betapapun mereka serius melakukan hal itu, dia tetap dianggap membolos dan dinilai tidak disiplin. Karena, mereka mengerjakan tugas yang berbeda dari yang lainnya. Menurut pandangan dunia pendidikan di negeri ini, yang disebut belajar adalah anak duduk terpaku dalam waktu yang sama, mengerjakan hal yang sama, menggunakan sumber belajar (buku) yang sama, dan menjawab soal yang sama. Jika bukan demikian, para pendidik sulit untuk mengontrol dan mengawasi apakah anak benar-benar belajar di rumah. Inilah yang dijadikan alasan mengapa anak-anak harus dikondisikan seperti belajar di sekolah. Padahal, kalaupun mereka tidak melakukan apa-apa, hanya diam di rumah sehingga mereka tidak tertular dan tidak menulari, berarti dia telah menyelamatkan diri. Bila semua anak melakukan ini, maka bangsa ini selamat, itu artinya mereka telah menjadi warga aktif yang memiliki kesadaran untuk bela negara sebagaimana yang menjadi tujuan pelajaran PPKn.

Apabila kita sepenuhnya yakin bahwa anak benar-benar belajar dengan semangat dan kemauan yang tumbuh dari dalam diri mereka, maka kita tidak akan pernah menyangsikan kemampuan mereka dalam mengelola energi, mengembangkan kekuatan dan potensi unik mereka masing-masing secara mandiri. Bila itu terjadi, maka kita tidak perlu nyinyir mengomandoi mereka agar mau belajar. Kita tidak perlu “mengancam” mereka melalui tugas-tugas yang datang bertubi-tubi. Dan yang paling penting lagi, kita tidak perlu lagi menguji mereka dengan soal-soal ujian di setiap akhir pembelajaran. Melatih mereka mengerjakan soal-soal akan meningkatkan kemahiran mereka menjawab soal ujian, namun keok menghadapi persoalan dalam kehidupan nyata.

Ada apa dengan pendidikan di negeri ini? Dunia pendidikan seperti tidak peduli dengan dunia anak, tidak peduli dengan situasi dan potensi unik setiap anak, serta keberagaman gaya belajar anak. Anak-anak terkondisi seperti robot. Posisi sebagai robot dalam belajar akan mencabut anak dari dirinya sendiri. Jika dunia pendidikan hanya mencabut anak dari budaya dan lingkungannya masih bisa kita maafkan. Tapi, mencabut anak dari dirinya sendiri berarti dunia pendidikan telah mencabut mereka dari kehidupannya. Secara fisik mereka terlihat sehat, bugar dan bersemangat. Namun jiwanya kosong, seperti tanpa “ruh”. Jika ini terjadi, sulit bagi kita untuk memaafkan.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *