Tasikmalaya – RA | Namanya Painten, seperti namanya, orangnya sangat sederhana. Di tahun awal tahun 1975, usianya sekitar 20 tahun. Berasal dari desa Ngampel Magelang.
Karena berada di daerah yang rawan terkena letusan Gunung Merapi, maka Painten bersama dengan 100 KK yang terdiri dari 385 jiwa diberangkatkan ke proyek transmigrasi Pakuwon Agung pada bulan November 1974. Painten sendiri seorang yatim piatu, dan saudara pun tak punya.
Sebelum berangkat ke Lampung, Painten berkenalan dengan seorang laki-laki Harjotaryono (27 tahun) yang biasa dipanggil Bagong. Beberapa hari sebelum berangkat ke Lampung mereka menikah, dan perjalanan dari Desa Ngampel ke tempat tinggal mereka yang baru di Lampung yang memakan waktu tidak kurang dari seminggu, menjadi perjalanan bulan madu mereka.
Sayangnya setiba di Lampung, tiba-tiba Bagong berubah pikiran dengan langsung kembali ke Jawa. Ketika ditanyakan ke Painten, suaminya baru terus terang bahwa ia sudah beristri dan istrinya yang ditinggal di Jawa baru saja melahirkan anak yang paling kecil. Ditinggallah Painten karena suaminya itu tak mungkin kembali lagi ke Lampung.
Paiten sendiri memutuskan tidak akan kembali ke Jawa mencari suaminya, karena ia betah di tempat barunya, dan juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi di Jawa. Untungnya Painten tidak kehilangan haknya sebagai transmigran yaitu sebuah rumah sederhana berdinding bambu dengan atap yang belum sempurna, beserta tanah dua hektar, serta jaminan hidup untuk 8 bulan ke depan. Di tempatnya yang baru, Painten mulai membangun hidup baru.
Sumber: Sinar Harapan, 10-2-1975. Koleksi Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI (SKALA-Team)