Kabut Tebal di Balik Realitas; Islam sebagai Objek Perbincangan (Bagian 2)

Oleh: Robi Delvis

Ruangatas.com | Sekarang, mari kita bicara lebih spesifik pada hal-hal yang lebih rinci dengan Islam dan ekonomi sebagai objek perbincangannya. Mengapa saya memilih Islam dan ekonomi? Karena, saya banyak berkecimpung di dua hal itu. Mari kita bincangkan Islam terlebih dahulu.

Sebagai objek perbincangan, terlebih dahulu saya ingin memberikan overview makna Islam sepanjang sejarahnya, sehingga kita akan mampu melihat Islam dalam maknanya yang (dianggap) paling genuine. Setidaknya ada empat poin penting yang perlu kita pahami dengan baik. Pertama, bahwa Islam adalah agama yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul tanpa kecuali sejak Nabi Adam as hingga Nabi terakhir Muhammad Saw. Jadi, apa agama Adam as? Islam! Agama Ibrahim as? Juga Islam! Agama Isa as? Juga Islam! Pokok ajaran semua Nabi adalah meng-Esa-kan Allah Swt. Semuanya sama tanpa kecuali. Para Nabi dan Rasul itu hanya berbeda pada syariat-Nya. Apakah Nabi Ibrahim as berzakat? Ya! Tapi apa zakatnya sama dengan konsep zakat Nabi Muhammad Saw? Tidak! Selain itu, yang kedua, ialah adanya perbedaan besar antara nabi dan rasul terdahulu dengan Nabi Muhammad Saw. Nabi dan rasul terdahulu diutus hanya untuk satu kaum, sedangkan Nabi Muhammad Saw untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Hal ketiga, yang perlu diketahui bahwa ajaran syariat nabi dan rasul terdahulu secara otomatis ajarannya menjadi tidak berlaku manakala datang nabi yang terkemudian. Misalnya ajaran Nabi Musa as menjadi tidak berlaku dengan datangnya Nabi Isa as. Demikian pula ajaran Isa as menjadi tidak lagi berlaku sejak kedatangan nabi terakhir Muhammad Saw. Selain tiga catatan penting di atas, satu catatan lainnya ialah bahwa seiring perjalanan sejarahnya, praktik keagamaan umat-umat nabi terdahulu juga mengalami pergeseran bahkan penyimpangan. Maka sangat penting memahami proses historisnya, sehingga kita bisa membincangkannya secara adil dan proporsional.

Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah Islam yang paripurna, berlaku sepanjang zaman, dalam konteks ruang dan waktu yang tidak terbatas. Jadi, Islam telah sempurna sejak kelahirannya. Jika ditarik dari era Nabi Saw hingga sekarang, Islam sudah melewati masa lebih dari 14 abad. Dan sepanjang sejarahnya, Islam bukan saja mampu menjadi spirit zaman dan peradaban, tapi juga mampu menjawab tantangan-tantangannya.

Islam yang dibawa oleh Nabi, diteruskan oleh para sahabat, lalu tabi’in dan para ulama setelahnya, berlayar seperti sampan yang tahan gejolak. Gejolak politik era khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan batu ujian pertama yang boleh dibilang amat deras. Namun kemurnian ajarannya tetap bertahan lewat kecanggihan metodolgis yang dirumuskan oleh para ulama yang diterjemahkan dari warisan Nabi Saw. Meskipun melahirkan mazhab-mazhab pemikiran baik teologi, fiqih, atau pun yang lainnya, sebagian besar perbedaan terletak pada cabang-cabang (furu) dan bukan pada hal-hal fundamentalnya (ushul). Adanya pembagian furu dan ushul muncul merujuk pada ajaran Nabi Saw. Jadi, Islam yang diajarkan Nabi sangat amat jelas memberikan pattern-pattern di mana kesepakatan dan di mana ketidaksepakatan itu. Lalu dari contoh-contoh konkret itu diperluas oleh para ulama melalui qiyas-qiyasnya.

Sebagai pedoman sederhana, mari kita sedikit perinci lagi wilayah-wilayah kesepakatan dan kebolehan ketidaksepakatan itu. Al-Qur’an dan al-Hadis sebagai sumber primer ajaran Islam disandingkan membentuk empat hierarki tingkatan dalil. Tingkat pertama ialah qath’i tsubut wa qath’i dhalalah yang artinya sumbernya benar dan petunjuknya juga benar. Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mutawatir masuk kategori ini. Misalnya Allah adalah Ahad. Tidak ada tafsir lain. Semua sepakat dan diwilayah ini tidak ada dan tidak boleh ada perbedaan. Tingkat kedua ialah qath’i tsubut wa dzanni dhalalah yang artinya sumbernya benar tapi petunjuknya tidak jelas. Misalnya perintah mengusap kepala pada QS Al-Maidah (5) ayat 6 ditafsirkan berbeda oleh para ulama. Ada lagi tingkat ketiga, yakni dzanni tsubut wa qath’i dhalalah yang artinya sumbernya tidak disepakati meskipun makna/petunjuknya jelas. Misalnya dalam kasus qunut subuh semua sepakat bahwa qunut dilaķukan Nabi tapi dalil tentang qunut derajat kesahihannya tidak disepakati. Yang terakhir ialah dzanni tsubut wa dzanni dhalalah yang artinya baik sumber dan petunjuknya diperdebatkan. Maka dari itu, kita dapat menyimpulkan bahwa hanya sekitar 25% ajaran Islam yang wajib sama dan tidak boleh berbeda yang kita sebut ushul dan sisanya sekitar 75% Islam memberi keluasan untuk berbeda selama pendapat tersebut valid dan disampaikan oleh ulama yang otoritatif bukan pendapat orang bodoh.

Maka bicara perbedaan dalam Islam, bukan soal banyak dan tidaknya, tapi pada wilayah mana kita berbeda. Meskipun kita berbeda sangat banyak, tapi itu termasuk wilayah yang boleh berbeda. Maka jika benar, kita mendapat dua pahala, jika salah mendapat satu pahala. Sebaliknya, jika kita berbeda pada wilayah yang tidak boleh berbeda, maka konsekuensinya amat besar. Jika benar kita masih muslim, jika salah, kita bisa tersesat bahkan lebih jauh dianggap keluar dari Islam (kafir).

Belakangan cara pandang “ushul” dan “furu” tersebut mendapat tantangan dari pemikir Barat yakni para orientalis. Bagi mereka, semua kebenaran bisa dipertanyakan dan karenanya tidak lagi relevan ushul dan furu itu. Namun pendapat demikian jelas amat cacat. Mengapa? Jika semua kebenaran itu relatif (belum tentu benar), maka pendapatnya pun relatif. Akhirnya, kita tidak punya pegangan. Dosen tidak bisa mengoreksi skripsi mahasiswanya, karena apa yang dipandang benar oleh dosen, mengikuti logika semua kebenaran relatif, maka boleh saja disalahkan oleh sang mahasiswa. Kebenaran akhirnya jadi rebutan tidak jelas dan tidak karuan. Maka yang benar dalam segala hal ialah ada kebenaran yang mutlak dan ada juga kebenaran yang relatif. Apa yang ditampilkan oleh pemikir Barat postmodernisme yang tidak mempercayai adanya kebenaran mutlak tidak bisa diterima(?). Maka dari itu, Islam yang genuine memiliki posisi yang jelas bahwa ada kebenaran ajaran yang tidak boleh berbeda dan ada ajaran Islam yang boleh saja berbeda.

Hal ini juga berlaku dalam konteks ilmu pengetahuan. Hubungan Islam dan ilmu pengetahuan amat jelas bahwa Islam adalah sumber inspirasi ajaran Islam baik dalam dataran filosofis maupun praktis. Islam sejatinya adalah agama (din) sekaligus peradaban (tamaddun). Peradaban dalam Islam dibangun di atas ajarannya. Hal ini berbeda dengan Barat. Jika Islam maju didasarkan pada ajaran Islam, maka Barat maju karena meninggalkan agama (gereja). Cara pandang Islam adalah tauhid, sedangkan cara pandang Barat adalah memisahkan (sekularisme). Dengan demikian, Islam tidak mengenal dogma, sesuatu yang dipercayai begitu saja tanpa bisa dibuktikan. Seluruh ajaran Islam bisa diuji dan dibuktikan kebenarannya secara epistemologis. Perbedaan-perbedaan misalnya pada sejarah para Nabi versi Islam dan versi sejarah modern terletak pada metodologi sejarahnya. Jika metodologinya berbeda secara diametral tentu hasilnya pun akan berbeda.  Maka makna Islam dalam pandangan orang-orang Barat mengalami distorsi dan Islam dibatasi maknanya hanya sebagai ajaran agama (saja). Padahal Islam adalah agama dan peradaban sekaligus.

Ringkasnya, Islam sangat terbuka terhadap perbedaan, meskipun pada bagian-bagian tertentu, Islam tidak menolerir adanya perbedaan. Adanya sisi prinsip (ushul) yang tidak boleh berbeda dan adanya sisi cabang (furu) yang boleh berbeda itulah kunci keberhasilan Islam melintasi zaman. Dalam banyak hal (furu), Islam dapat beradaptasi dengan segala bentuk perubahan tapi pada saat yang sama, ia tetap memiliki identitas (ushul) yang jelas dan tidak tercerabut oleh sejarah. Bayangkan jika Islam tidak menerima perubahan, maka ia akan ditinggalkan zaman. Sebaliknya jika Islam menerima seluruh perubahan, maka otentisitas & identitasnya sudah tidak lagi dikenali. Bukankah ajaran yang mampu beradaptasi di satu sisi dan tidak kehilangan identitas di sisi yang lain merupakan bukti kecanggihan ajaran Islam? Saya kira dalam hal ini, mestinya Anda bersepakat dengan saya! Ha-ha-ha! (RD)***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *