Alfie Akhmad: Palu Hakim Semestinya untuk Keadilan, Bukan Pelampiasan Kemarahan

Kab. Tasikmalaya – Ruangatas.com | Diduga dipicu oleh kesalahpahaman antara pihak keluarga termohon dan Pengadilan Agama, Hakim Ketua di ruang sidang II Pengadilan Agama Kelas I A Tasikmalaya, Ahmad Sanusi, dikabarkan mengusir keluarga termohon dalam sidang perceraian Selviani, Selasa (24/12/2024).

Menurut Alfie Akhmad, perwakilan keluarga termohon, Hakim Ketua dengan nada keras menyuruh ayah dan kakak Selviani keluar dari ruang sidang. “Keluarga kami mempertanyakan, bukankah sidang ini terbuka untuk umum? Namun Hakim Ketua dengan suara keras menjawab bahwa sidang perceraian adalah tertutup,” ujar Alfie.

Alfie menjelaskan bahwa keluarga termohon merasa bingung karena sebelumnya diumumkan bahwa sidang bersifat terbuka. “Ayah kandung termohon pun diperlakukan sama. Hakim bahkan langsung bertanya dengan nada marah, ‘Anda siapa? Kuasa hukum? Pendidikan Anda apa?’ Hal ini tentu tidak pantas,” tambahnya.

Menurut keterangan Alfie, suasana semakin tegang saat Hakim Ketua dengan nada tinggi menanyakan identitas dirinya yang ternyata seorang wartawan. “Hakim bahkan memukul meja dengan palu sembari bertanya, ‘Ooh, Anda wartawan?’ sambil menunjukkan sikap yang tidak mencerminkan profesionalitas seorang hakim,” tutur Alfie.

Keluarga Merasa Diperlakukan Tidak Adil

Sulanjana, ayah Selviani, merasa tindakan Hakim Ketua tidak pantas. “Kenapa kami harus diusir? Kami hanya ingin menyaksikan proses sidang, tanpa bicara apa pun. Kalau memang harus keluar, seharusnya disampaikan dengan cara yang sopan,” ujar Sulanjana dengan nada kesal.

Usai kejadian tersebut, keluarga termohon mencoba menemui Ketua Pengadilan, tetapi petugas menyampaikan bahwa Ketua sedang rapat daring. Mereka kemudian diarahkan ke ruang pengaduan. Di sana, petugas menjelaskan bahwa sidang perceraian memang bersifat terbuka saat pembacaan gugatan, tetapi menjadi tertutup saat pemeriksaan saksi.

Prosedur Sidang Dinilai Tidak Sesuai

Ketua Divisi Hukum APDESI Tasikmalaya juga menyoroti beberapa kejanggalan dalam sidang tersebut.

Alfie menilai sidang tidak dibuka dengan prosesi resmi, dan Hakim langsung bertanya soal gelar pendidikan AM.Keb yang dimiliki termohon. “Lebih aneh lagi, sidang hanya dipimpin oleh satu hakim, padahal perkara perceraian seharusnya diputus oleh minimal tiga hakim sesuai Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009,” tegas Alfie.

Kritik terhadap Proses Mediasi

Selviani, pihak termohon, mengaku kecewa dengan proses mediasi yang dipimpin oleh seorang mediator non-hakim. “Mediator lebih banyak mendukung pihak pemohon dan bahkan menyarankan agar perceraian segera selesai. Saya tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan suami saya menggugat cerai,” ungkap Selviani.

Ia juga menyoroti sikap mediator yang dianggap tidak netral. “Mediator malah berbicara tentang pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak sebelum perceraian diputuskan. Saya merasa proses ini tidak adil,” katanya.

Selviani berharap Pengadilan Agama dapat memperbaiki tata cara sidang dan mediasi agar lebih profesional dan berkeadilan. “Mediasi seharusnya membantu kedua pihak menyelesaikan masalah, bukan langsung memutuskan perceraian tanpa mendengar penjelasan dari saya,” pungkas Selviani.

Kejadian ini mencerminkan perlunya evaluasi terhadap proses persidangan dan mediasi di Pengadilan Agama, khususnya dalam perkara perceraian.

“Semua pihak berharap agar hukum ditegakkan dengan adil dan transparan, sesuai dengan prinsip keadilan yang menjadi dasar peradilan di Indonesia”, pungkas Alfie. (Red)***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *